Selasa, 08 Maret 2016

Makalah Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi

PERSYARATAN PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI

MAKALAH


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits yang dibimbing oleh Makhrus, M.A



Oleh kelompok 6:
Lailatul Qomariyah
(084142062)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2015


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb
            Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayahNya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca khususnya.
            Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusun makalah ini terutama kepada Bapak Makhrus, M.A selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits yang telah memberikan arahan serta bimbingannya dalam terselesikannya makalah ini.
            Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan.Maka dari itu penulis mengharap kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum wr.wb





Jember, 02 Oktober 2015


Penulis





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………........       
KATA PENGANTAR …………………………………………………….....      
DAFTAR ISI………………………………………………………….......….      
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………........     
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………............      
1.3 Tujuan………………………………………………………….........     
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perawi Hadits...............................................................     
2.2 Proses Transformasi Hadits …………………………..……..……....       
2.3 Periwayatan Hadits Secara Makna…………………..........................    
2.4 Gelar Para Ulama Hadits……………………………………………     
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan…....................…………………................................       
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….


Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sanad adalah kunci utama dalam mendeteksi apakah hadis bisa diterima atau tidak.unsur unsur yang harus diperhatikan dalam mempelajari sanad adalah  pertama adalah keadaan rijalu al hadits yang meriwayatkan begitu pula dengan syarat syarat menjadi rijalu ala hadis. kedua adalah intisalu as  sanad yaitu antar rijalu al hadits murid dan syekh pernah saling bertemu atau tidak.yang ketiga proses murid menerima hadits dari gurunya dan guru menyampaikan hadist kepada muridnya.unsur yang ketiga ini dinamakan tahammul wa ada’ yaitu cara menerima atau menyampaikan hadis.tujuannya agar mengetahui hadis diterima atau tidak.kemudian menjelaskan bagaimana cara meriwayatkan hadis secara makna karena ada periwayatan hadis secara lafdzi dan maknawi yang akan dibahas di makalah ini begitu pula dengan gelar ahli hadis.
B.      Rumusan Masalah
1.Apakah syarat syarat perawi hadis?
2.Apa proses transformasi hadis?
3..Apa bagaimana periwayatan hadis secara makna?
4.Apa saja gelar ulama hadis?
C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui syarat syarat perawi hadis
2.      Untuk mengetahui transformasi hadis
3.      Untuk mengetahui periwayatan hadis secara makna
4.      Untuk mengetahui gelar ulama hadis



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Syarat-syarat Perawi Hadits
Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja raawa yarwii, yang berarti memindahkan atau meriwayatkan.Rawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya.Mengenai hal-hal yang seperti itu, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu hadits ialah kualitas rawi.Tinggi rendahnya sifat adil dan dhabit para perawi mwnyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerima hadits dari guru mereka masing-masing mengakibatkan munculnya peerbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karena perbedaan lafadz yang di pakai dalam penyampaian hadits menyebabkan perbedaan nilai dari suatu hadits.
Sehubungan dengan itu, penelitian di bidan rawi sangat penting dalam upaya menentukan kualitas suatu hadits.Suatu berita di anggap kuat keasliannya kalau pembawa berita memiliki persyaratan kejujuran dan kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena perawi harus dapat sorotan tajam sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu hadits yang terkenal, yaitu ilmu jarh wa al ta’dil. Untuk melihat sejauh mana kualitas rawi. Adapun beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits menurut jumhur ahli hadits, ahli ushul dan fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut:

1.      Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainnya perawinya seorang fasik saja kita disuruh ber tawaqquf, maka lebih-lebih perawi kafir. Seorang rawi haruslah meyakini dan mengerti agama Islam, karena dia  meriwayatkan hadits atau khabar yang berkaitan dengan hokum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
ياايها الذين امنوا ان جاءكم فاسق بنباء فتبينوا ان تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا علا ما فعلتم نادمين
hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang=orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
2.      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walau menerimanya sebelum baligh. Hal ini di dasarkanpada hadits Rasul:
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari t iga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3.      ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4.      Dhabit
Dhabit ialah:
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الى وقت اللا داء
Teringat kembali perawi saat penerimaan atau pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
            Jalannya mengetahui ke-dhabitan seorang rawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat –ayat Al-Quran.

B.     Proses Transformasi (Tahammul Wa Ada’) Hadits
1.      Tahammul
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerima’an hadits. Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Adapun metode-metode tersebut di antaranya adalah:
a.       Sama’ min lafdis Syaikhi, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara-cara yang demikian ini merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut Jumhur. Sebab di masa Rasul, cara inilah yang di jalankan nya, yakni sering para sahabat pada mendengarkan apa yang didiktekan oleh Nabi SAW. Dengan cara-cara ini, terperiharalah kekeliruan dan kelupaan, serta mendekati kebenaran, lantaran sudah menjadi kebiasaan, setelah selesai mereka saling mencocokkan satu sama lain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar mendengarkan, ialah:
اخبرني : اخبرنا          (seseorang telah mengabarkan kepada ku/kami),
حدثني : حدثنا (seseorang telah bercerita kepada ku/kami),
سمعت : سمعنا            (saya telah mendengar, kami telah mendengar).
b.      Al-qira’ah ‘ala’s-Syaikhi atau disebut juga dengan ‘aradl. Dikatakan demikian, karena si pembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan sang guru, baik ia sendiri yang membacanya sedang dia mendengarkannya. Tidak ragu lagi bahwa cara-cara yang demikian ini adalah sah, dan periwayatan yang berdasar qira’ah ini dapat di amalkan.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits-hadits yang berdasarkan qira’ah ini, ialah:

قراْت عليه                             (aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ على فلان وانا اسمع             (dibacakan oleh seseorang dihadapannya(guru) sedang aku mendengarkannya)
حدثنا او اخبرنا قراْة عليه            (telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan di hadapannya)
c.       Ijazah
Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya. Meriwayatkan dengan ijazah ini diperselisihkan oleh para Ulama.Kebanyakan para muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan dengan ijazah, sebab kalau di izinkan, tentu tuntutan pergi mencari hadits itu gugur dengan sendirinya.Sedang menurut Jumhurul-Muhadditsin, diperkenankan meriwayatkan dan mengamalkan.Bahkan diduga keras hal ini telah mendapat persepakatan umat.
Ijazah itu mempunyai 3 tipe, yakni:
1.      Ijazah fil mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu), misalnya:
اجزت لك رواية الكتاب الفلاني عنى
Aku menijazahkam kepadamu untuk meriwayatkan kitab si Fulan pada saya”.
Ijazah semacam ini adalah paling tinggi nilainya.
2.      Ijazah fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
اجزت لك جميع مسموعاتي او مروياتى
kuijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
3.      Ijazah ghairi mu’ayyin bighairi mu’ayyin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
اجزت للمسلمين جميع مسموعاتى
Ku ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”.
Sebagian ‘Ulama termasuk Al-Khatib dan Abu Thoyyib membolehkan ijazah ini.
d.      Munawalah.
Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah itu mempunyai dua tipe, yakni:
1.      Dengan di barengi ijazah, contoh:
هذا سماعى او رواياتى عن فلان فاروه
Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”
2.      Tanpa dibarengi ijazah, contoh:
هذا سماعى او من رواياتى
Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku”

e.       Mukatabah
Yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada dihadapannya. Sebagaimana munawalah, demikian pula mukatabah, ada yang dibarengi dengan ijazah. Contoh dari mukatabah yang dibarengi dengan ijazah:
اجزت لك ما كتبته اليك : اجزت ما كتبت به اليك
Kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu”.
Adapun yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti bila seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya:
قال حدثنا فلان
telah memberitakan seseorang padaku”
Lafadz –lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasarkan mukatabah, yaitu:

حدثنى فلان كتابة        (seseorang telah bercerita padaku dengan surat-menyurat) atau
اخبرنى فلان كتابة       (seseorang telah mengkhabarkan kepadaku melalui surat) atau
كتب الي فلان              (seseorang telah menulis padaku)


f.       Wijadah
Yakni memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadz sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut. Para ‘Ulama memperselisihkan faham tentang mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan wijadah ini.Para Muhadditsin besar dan ‘Ulama-‘Ulama Malikiyah tidak memperkenankan.As-Syafi’I membolehkannya.Seeding sebagian muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila berkeyakinan sungguh-sungguh atas kebenarannya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasar wijadah, ialah:
قراْت بخط فلان                       (saya telah membaca khat seseorang),
وجدت بخط فلان حدثنا فلان         (kudapati khat seseorang, bercerita padaku si-Fulan. . .).

g.      Washiyah
Yakni pesan seseorang ketika akan mati atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan atas jalan washiyat ini, tetapi ‘Ulama Jumhur tidak membolehkan nya, bila yang menerima wasiat tidak mempunyai ijazah dari pewasiat.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasar wasiat, ialah:
اوصى الي فلان بكتاب قال فيه حدثنا الى اخره
seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu” : telah bercerita padamu si Fulan . . .).
h.      I’lam
Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan agar si murid meriwayatkannya.Hadits yang berdasarkan I’lam ini, tidak boleh, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah mengetahui bahwa dalam hadits tersebut ada cacatnya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasar I’lam ini, seperti:
اعلمنى فلان قال حدثنا. . .الخ
seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku . . . .”.

C.    Periwayatan Hadits Secara Makna
Meriwayatkan Hadits dengan makna adalah meriwayatkan Hadits berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya di susun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat da nada juga yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sajasementara apa yang di ucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafadz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadits dengan makna. Sedangkan periwayatan hadits menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian Hadits-Hadits Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafadz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu.
Menukil atau meriwayatkan Hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika Hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun Hadits-Hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu tidak diperbolehkan mrubahnya dengan lafadz atau matan yang lain meskipun maknanya tetap. Dengan kata lain bahwa perbeda’an sehubungan dengan periwayatab hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. setelah hadits di bukukan dalam berbgai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilangdan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa orang yang bodoh, rawi pemula, orang yang belum mahir dalam bidang ilmu hadits, tidak menonjol pengetahuannya tentang struktur lafadz dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna Hadits tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan Hadits kecuali dengan lafadz yang di dengarnya. Karena apabila ia meriwayatkan Hadits tidak dengan lafadznya, maka ia akan memutuskan suatu hokum dengan kebodohannya, berkiprah dalam pangkal syariat yang bukan wewenangnya, dan berkata semena-mena terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ulama salaf, ulama hadits, fiqh, dan ushul berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya periwayatan Hadits dengan makna bagi orang yang mengetahui makna-makna lafadz dan sasaran khitab.Banyak ulama salaf dan ahli penelitian dari kalangan muhadditsin dan fuqaha bersikap tegas sehingga mereka melarang periwayatan hadits dengan makna, dan tidak memperbolehkan seorangpun menyampaikan Hadits kecuali dengan lafadznya.
Jumhur ulama, termasuk imam yang empat, berpendapat bolehnya meriwayatkan Hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafadz-lafadz hadits manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat di riwayatkan dengan maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafadz Hadits bukan bacaan ibadah dan hadits tersebut tidak termasuk jawami’ al-Kalim (kata-kata yang sarat makna) yang diucapkan Nabi SAW. Pendapat inilah yang shahih, karena hadits yang memenuhi dua kriteria di atas pokok permasalahannya terletak pada maknanya dan bukan pada lafadznya. Oleh karena itu, apabila seorang alim meriwayatkan suatu hadits dengan maknanya saja, maka ia telah memenuhi tuntutan dan maksus hadits tersebut.
Bukti empiris yang paling akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadits menyampaikan hadits dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa Arab. Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadits dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Sering kali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi tiada lain karena mereka berpegang kepada makna hadits, bukan kepada lainnya.
Imam mawardi mewajibkan menyampaikan hadits dengan maknanya apabila lupa lafadznya, khawatir apabila hadits itu tidak di sampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadits. Ada pendapat lain yang memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadits harus memakai kata-kataكماقال dan شبهه serta yang serupa dengannya.

D.    Gelar Para Ulama Hadits
Para imam hadits pada mendapat keahlian dalam bidang ilmu Hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran dan kemampuan menghafal beribu-ribubuah Hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu adalah sebagai berikut:
1)      Amirul mukminin fil Hadits
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah khalifah Abu Bakar  As-Shiddiq r.a. Para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan Haditsnya. Para Muhadditsin di masa itu seolah-olah berfungsi khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang memperoleh gelaran ini antara lain: Syu’bah Ibn hajjaj, Sufyan Ats-tsaury, Ishaq bin Rahawih, Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhori, Ad-daruquthny, dan Imam muslim.
2)      Al-Hakim
Yaitu suatu gelar keahlian bagi imam-imam Hadits yang menguasai seluruh Hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tajrih (tercela)nya para perawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanan-nya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun yang ditolak.Beliau harus dapat menghafal Hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain: Ibnu Dinar (meninggal 162 H), Al-Laits bin Sa’ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (meninggal 175 H), Imam Malik (meninggal 179 H), dan Imam Syafi’I (meninggal 204 H).
3)      Al-Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal hadits sebanyak 300.000 Hadits, baik matan, sanad, maupun perihal perawi tentang ke’adilannya, kecacatannya dan biografinya (riwayat hidupnya). Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain ialah: Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H), Abu hudzail Muhammad bin Al-walid (meninggal 149 H) dan Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr (meninggal 242 H).
4)      Al-Hafidz
Ialah gelaran  ahli hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan Hadits dan dapat menta’dilkan dan menjarhkan rawinya. Beliau harus menghafal Hadits-hadits shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), ‘illat-illat Hadits dan istilah-istilah para muhadditsin. Menurut sebagian pendapat, Al-hafidz itu harus  mempunyai kapasitas menghafal 100.000 Hadits. Para Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain ialah: Al-‘Iraqy, Syarafuddin Ad-Dimyathy, Ibnu Hajar Al-Asqalany.
5)      Al-Muhaddits
Menurut Muhadditsin mutaqaddimin Al-Hafidz dan Al-Muhaddits itu searti.Tetap menurut mutaakhirin, Al-Hafidz itu lebih khusus dari pada Al-Muhaddits. Kata At-Taju’s-Subhi: “Al-Muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi) dan nazil (rendah)nya suatu Hadits, memahami Kutubus sitttah, Musnad Sanad, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jamu Thabarany dan menghafal Hadits sekurang-kurangnya 1000 buah. Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain: ‘Atha’ bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat mekkah, wafat; 115 H) dan imam Az-zabidy (salah  seorang ‘ulama yang mengikhtisarkan kitab bukhary Muslim).
6)      Al-Musnid
Yakni gelar keahlian bagi orang yang meriwayatkan Hadits beserta sanadnya.Baik menguasainya ilmunya maupun tidak.Al-Musnid juga disebut dengan At-Thalib, Al-Mubtadi’ dan Ar-Rawy.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi hadits mempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil, dan Dhabit. Tidak boleh seorang perawi hadits seseorang yang kafir.

Tahammul dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ artinya “menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka “tahammul hadits” merupakan kegiatan menerima riwayat hadits. Sedangkan “ada’ul hadits” meerupakan kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap.

Syarat-syarat perawi:
·         Islam
·         Baligh
·         ‘Adalah
·         Dhabit


Gelar para ulama’ hadist adalah;
·         Amirul mu’minin fil hadits
·         Al hakim
·         Al hujjah
·         Al hafidh
·         Al muhaddits
·         Al musnid


DAFTAR PUSTAKA

Rahman,Fatchur. 1995. ikhtisar mushthalahul hadits. Bandung: PT Alma’arif
ItirNuruddin. 1997.Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis. Damaskus: Dar el Fikri
Soetari, Endang.1997. Ulumul Hadis. Bandung:Amal Bakti Press
Ma’luf, Luwis. 1973.al-Munjid  fial-Lughah. Beirut: Dar  al-Masyriq          
Tim guru MGPK provinsi jawa timur. 2008. Hadis. Mojokerto: Sinar mulia
Itir,Nuruddin. 2012. ulumul hadis. Rosda




Tidak ada komentar:

Posting Komentar