PERSYARATAN PERAWI DAN PROSES
TRANSFORMASI
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits yang dibimbing oleh Makhrus, M.A
Oleh
kelompok 6:
Lailatul
Qomariyah
(084142062)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Dengan mengucapkan syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan hidayahNya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca khususnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyusun makalah ini terutama kepada
Bapak Makhrus, M.A selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya dalam terselesikannya makalah ini.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan.Maka dari itu
penulis mengharap kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Jember, 02 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………........
KATA PENGANTAR …………………………………………………….....
DAFTAR
ISI………………………………………………………….......….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………........
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………............
1.3 Tujuan………………………………………………………….........
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perawi Hadits...............................................................
2.2 Proses Transformasi Hadits …………………………..……..……....
2.3 Periwayatan Hadits Secara
Makna…………………..........................
2.4 Gelar Para Ulama
Hadits……………………………………………
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan…....................…………………................................
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sanad adalah kunci utama dalam mendeteksi apakah hadis bisa diterima atau
tidak.unsur unsur yang harus diperhatikan dalam mempelajari sanad adalah pertama adalah keadaan rijalu al hadits yang
meriwayatkan begitu pula dengan syarat syarat menjadi rijalu ala hadis. kedua
adalah intisalu as sanad yaitu antar
rijalu al hadits murid dan syekh pernah saling bertemu atau tidak.yang ketiga
proses murid menerima hadits dari gurunya dan guru menyampaikan hadist kepada
muridnya.unsur yang ketiga ini dinamakan tahammul wa ada’ yaitu cara menerima
atau menyampaikan hadis.tujuannya agar mengetahui hadis diterima atau
tidak.kemudian menjelaskan bagaimana cara meriwayatkan hadis secara makna
karena ada periwayatan hadis secara lafdzi dan maknawi yang akan dibahas di
makalah ini begitu pula dengan gelar ahli hadis.
B. Rumusan Masalah
1.Apakah syarat syarat perawi hadis?
2.Apa proses transformasi hadis?
3..Apa bagaimana periwayatan hadis secara makna?
4.Apa saja gelar ulama hadis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui syarat syarat perawi hadis
2. Untuk mengetahui transformasi hadis
3. Untuk mengetahui periwayatan hadis secara makna
4. Untuk mengetahui
gelar ulama hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat
Perawi Hadits
Rawi menurut bahasa berasal dari
kata riwaayah yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja raawa
yarwii, yang berarti memindahkan atau meriwayatkan.Rawii adalah
orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi mempunyai peran yang
sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup
berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya.Mengenai
hal-hal yang seperti itu, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya
suatu hadits ialah kualitas rawi.Tinggi rendahnya sifat adil dan dhabit para
perawi mwnyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para
perawi menerima hadits dari guru mereka masing-masing mengakibatkan munculnya
peerbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karena perbedaan
lafadz yang di pakai dalam penyampaian hadits menyebabkan perbedaan nilai dari
suatu hadits.
Sehubungan dengan itu, penelitian di bidan rawi sangat penting dalam
upaya menentukan kualitas suatu hadits.Suatu berita di anggap kuat keasliannya
kalau pembawa berita memiliki persyaratan kejujuran dan kemampuan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Karena perawi harus dapat sorotan tajam sehingga
lahirlah sebuah cabang ilmu hadits yang terkenal, yaitu ilmu jarh wa al ta’dil.
Untuk melihat sejauh mana kualitas rawi. Adapun beberapa persyaratan tertentu
bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits menurut jumhur ahli hadits,
ahli ushul dan fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu
sebagai berikut:
1. Islam
Pada
waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut
ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainnya perawinya seorang fasik saja
kita disuruh ber tawaqquf, maka lebih-lebih perawi kafir. Seorang rawi
haruslah meyakini dan mengerti agama Islam, karena dia meriwayatkan hadits atau khabar yang
berkaitan dengan hokum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia
mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada
manusia. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah
sebagai berikut:
ياايها الذين امنوا
ان جاءكم فاسق بنباء فتبينوا ان تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا علا ما فعلتم نادمين
hai orang-orang yang
beriman, apabila dating kepadamu orang=orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
2. Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan
hadits, walau menerimanya sebelum baligh. Hal ini di dasarkanpada hadits Rasul:
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم
حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari t iga
golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun
dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3. ‘Adalah
Yang
dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga
kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa-dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal
yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah:
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الى
وقت اللا داء
Teringat kembali perawi saat
penerimaan atau pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu
menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabitan seorang rawi dengan jalan
i’tibar terhadap berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada
yang mengatakan, bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas,
antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di
sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan
hadits-hadits yang lebih kuat ayat –ayat Al-Quran.
B. Proses
Transformasi (Tahammul Wa Ada’) Hadits
1. Tahammul
Tahammul adalah menerima dan
mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan
beberapa metode penerima’an hadits. Jadi tahammul adalah proses menerima
periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Adapun metode-metode tersebut di antaranya adalah:
a. Sama’
min lafdis Syaikhi, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan
maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara-cara yang
demikian ini merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut Jumhur. Sebab di masa
Rasul, cara inilah yang di jalankan nya, yakni sering para sahabat pada
mendengarkan apa yang didiktekan oleh Nabi SAW. Dengan cara-cara ini,
terperiharalah kekeliruan dan kelupaan, serta mendekati kebenaran, lantaran
sudah menjadi kebiasaan, setelah selesai mereka saling mencocokkan satu sama
lain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan oleh rawi dalam meriwayatkan
hadits atas dasar mendengarkan, ialah:
اخبرني : اخبرنا (seseorang telah mengabarkan kepada ku/kami),
حدثني : حدثنا (seseorang telah bercerita kepada ku/kami),
سمعت : سمعنا (saya telah mendengar, kami telah mendengar).
b. Al-qira’ah
‘ala’s-Syaikhi atau disebut juga dengan ‘aradl. Dikatakan demikian, karena si pembaca
menyuguhkan haditsnya kehadapan sang guru, baik ia sendiri yang membacanya
sedang dia mendengarkannya. Tidak ragu lagi bahwa cara-cara yang demikian ini
adalah sah, dan periwayatan yang berdasar qira’ah ini dapat di amalkan.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan
hadits-hadits yang berdasarkan qira’ah ini, ialah:
قراْت عليه (aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ على فلان وانا اسمع (dibacakan
oleh seseorang dihadapannya(guru) sedang aku mendengarkannya)
حدثنا او اخبرنا قراْة عليه (telah
mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan di hadapannya)
c. Ijazah
Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk
meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya. Meriwayatkan dengan
ijazah ini diperselisihkan oleh para Ulama.Kebanyakan para muhadditsin tidak
memperkenankan meriwayatkan dengan ijazah, sebab kalau di izinkan, tentu
tuntutan pergi mencari hadits itu gugur dengan sendirinya.Sedang menurut
Jumhurul-Muhadditsin, diperkenankan meriwayatkan dan mengamalkan.Bahkan diduga
keras hal ini telah mendapat persepakatan umat.
Ijazah itu mempunyai 3 tipe, yakni:
1. Ijazah
fil mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang
yang tertentu), misalnya:
اجزت لك رواية الكتاب
الفلاني عنى
“Aku
menijazahkam kepadamu untuk meriwayatkan kitab si Fulan pada saya”.
Ijazah semacam ini adalah paling tinggi nilainya.
2. Ijazah
fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu
kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
اجزت لك جميع
مسموعاتي او مروياتى
“kuijazahkan
kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
3. Ijazah
ghairi mu’ayyin bighairi mu’ayyin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu
kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
اجزت للمسلمين جميع
مسموعاتى
“Ku
ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”.
Sebagian ‘Ulama termasuk Al-Khatib dan Abu Thoyyib
membolehkan ijazah ini.
d. Munawalah.
Yakni seorang
guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah itu mempunyai dua tipe, yakni:
1. Dengan
di barengi ijazah, contoh:
هذا سماعى او رواياتى
عن فلان فاروه
“Ini
adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”
2. Tanpa
dibarengi ijazah, contoh:
هذا سماعى او من
رواياتى
“Ini
adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku”
e. Mukatabah
Yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang
lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada
dihadapannya. Sebagaimana munawalah, demikian pula mukatabah, ada yang
dibarengi dengan ijazah. Contoh dari mukatabah yang dibarengi dengan ijazah:
اجزت لك ما كتبته
اليك : اجزت ما كتبت به اليك
“Kuizinkan
apa-apa yang telah kutulis padamu”.
Adapun yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti bila
seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya:
قال حدثنا فلان
“telah
memberitakan seseorang padaku”
Lafadz –lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasarkan mukatabah, yaitu:
حدثنى فلان كتابة (seseorang
telah bercerita padaku dengan surat-menyurat) atau
اخبرنى فلان كتابة (seseorang
telah mengkhabarkan kepadaku melalui surat) atau
كتب الي فلان (seseorang telah menulis padaku)
f. Wijadah
Yakni memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak
diriwayatkannya, baik dengan lafadz sama’, qira’ah maupun selainnya, dari
pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut. Para ‘Ulama memperselisihkan
faham tentang mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan wijadah ini.Para
Muhadditsin besar dan ‘Ulama-‘Ulama Malikiyah tidak memperkenankan.As-Syafi’I
membolehkannya.Seeding sebagian muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila
berkeyakinan sungguh-sungguh atas kebenarannya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar wijadah, ialah:
قراْت بخط فلان (saya telah membaca khat seseorang),
وجدت بخط فلان حدثنا فلان (kudapati
khat seseorang, bercerita padaku si-Fulan. . .).
g. Washiyah
Yakni pesan seseorang ketika akan mati atau bepergian, dengan
sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits
yang diriwayatkan atas jalan washiyat ini, tetapi ‘Ulama Jumhur tidak
membolehkan nya, bila yang menerima wasiat tidak mempunyai ijazah dari
pewasiat.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar wasiat, ialah:
اوصى الي فلان بكتاب
قال فيه حدثنا الى اخره
“seseorang
telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu” :
telah bercerita padamu si Fulan . . .).
h. I’lam
Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang
diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang,
dengan tidak mengatakan agar si murid meriwayatkannya.Hadits yang berdasarkan
I’lam ini, tidak boleh, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah
mengetahui bahwa dalam hadits tersebut ada cacatnya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasar I’lam ini, seperti:
اعلمنى فلان قال
حدثنا. . .الخ
“seseorang
telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku . . . .”.
C.
Periwayatan Hadits
Secara Makna
Meriwayatkan Hadits dengan makna adalah meriwayatkan
Hadits berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya di susun
sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh
Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat
dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para
sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat da nada juga yang lemah. Di
samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya
maksudnya sajasementara apa yang di ucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan
kecuali jika perawi lupa akan lafadz tapi ingat akan makna, maka ia boleh
meriwayatkan hadits dengan makna. Sedangkan periwayatan hadits menurut Luis
Ma’luf adalah proses penyampaian Hadits-Hadits Rasulullah SAW dengan
mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafadz karena kata makna
mengandung arti maksud dari sesuatu.
Menukil atau meriwayatkan Hadits secara makna ini
hanya diperbolehkan ketika Hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun
Hadits-Hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu
tidak diperbolehkan mrubahnya dengan lafadz atau matan yang lain meskipun
maknanya tetap. Dengan kata lain bahwa perbeda’an sehubungan dengan periwayatab
hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa
pembukuan hadits. setelah hadits di bukukan dalam berbgai kitab, maka perbedaan
pendapat itu telah hilangdan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang
tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan
makna.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama
bahwa orang yang bodoh, rawi pemula, orang yang belum mahir dalam bidang ilmu
hadits, tidak menonjol pengetahuannya tentang struktur lafadz dan kalimat
bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna Hadits tidak boleh meriwayatkan dan
menceritakan Hadits kecuali dengan lafadz yang di dengarnya. Karena apabila ia
meriwayatkan Hadits tidak dengan lafadznya, maka ia akan memutuskan suatu hokum
dengan kebodohannya, berkiprah dalam pangkal syariat yang bukan wewenangnya,
dan berkata semena-mena terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ulama salaf, ulama hadits, fiqh, dan ushul berbeda
pendapat dalam hal boleh tidaknya periwayatan Hadits dengan makna bagi orang yang
mengetahui makna-makna lafadz dan sasaran khitab.Banyak ulama salaf dan
ahli penelitian dari kalangan muhadditsin dan fuqaha bersikap tegas sehingga
mereka melarang periwayatan hadits dengan makna, dan tidak memperbolehkan
seorangpun menyampaikan Hadits kecuali dengan lafadznya.
Jumhur ulama, termasuk imam yang empat, berpendapat
bolehnya meriwayatkan Hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam
ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafadz-lafadz hadits
manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat di riwayatkan dengan maknanya
saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafadz Hadits bukan bacaan ibadah dan
hadits tersebut tidak termasuk jawami’ al-Kalim (kata-kata yang sarat
makna) yang diucapkan Nabi SAW. Pendapat inilah yang shahih, karena hadits yang
memenuhi dua kriteria di atas pokok permasalahannya terletak pada maknanya dan
bukan pada lafadznya. Oleh karena itu, apabila seorang alim meriwayatkan suatu
hadits dengan maknanya saja, maka ia telah memenuhi tuntutan dan maksus hadits
tersebut.
Bukti empiris yang paling akurat adalah kesepakatan
umat memperbolehkan seorang ahli hadits menyampaikan hadits dengan maknanya
saja bahkan dengan selain bahasa Arab. Bukti lain adalah bahwa periwayatan
hadits dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf
periode pertama. Sering kali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu
masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi tiada lain
karena mereka berpegang kepada makna hadits, bukan kepada lainnya.
Imam mawardi mewajibkan menyampaikan hadits dengan
maknanya apabila lupa lafadznya, khawatir apabila hadits itu tidak di
sampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadits. Ada pendapat lain
yang memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat
bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode
sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga
kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits yang hanya dengan maknanya itu setelah
meriwayatkan hadits harus memakai kata-kataكماقال dan شبهه serta yang serupa dengannya.
D.
Gelar Para Ulama
Hadits
Para imam hadits pada mendapat keahlian dalam bidang ilmu
Hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran dan kemampuan menghafal
beribu-ribubuah Hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu adalah sebagai
berikut:
1)
Amirul mukminin fil
Hadits
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada
para khalifah setelah khalifah Abu Bakar
As-Shiddiq r.a. Para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat
jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan
khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama
meriwayatkan Haditsnya. Para Muhadditsin di masa itu seolah-olah berfungsi
khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang memperoleh gelaran ini antara
lain: Syu’bah Ibn hajjaj, Sufyan Ats-tsaury, Ishaq bin Rahawih, Ahmad bin
Hanbal, Al-Bukhori, Ad-daruquthny, dan Imam muslim.
2)
Al-Hakim
Yaitu suatu gelar keahlian bagi
imam-imam Hadits yang menguasai seluruh Hadits yang marwiyah (diriwayatkan),
baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tajrih
(tercela)nya para perawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya,
perjalanan-nya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun yang
ditolak.Beliau harus dapat menghafal Hadits lebih dari 300.000 hadits beserta
sanadnya. Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain: Ibnu Dinar
(meninggal 162 H), Al-Laits bin Sa’ad, seorang mawali yang menderita buta di
akhir hayatnya (meninggal 175 H), Imam Malik (meninggal 179 H), dan Imam
Syafi’I (meninggal 204 H).
3)
Al-Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam
yang sanggup menghafal hadits sebanyak 300.000 Hadits, baik matan, sanad,
maupun perihal perawi tentang ke’adilannya, kecacatannya dan biografinya
(riwayat hidupnya). Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain
ialah: Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H), Abu hudzail Muhammad bin Al-walid
(meninggal 149 H) dan Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr (meninggal 242 H).
4)
Al-Hafidz
Ialah gelaran ahli hadits yang dapat menshahihkan sanad dan
matan Hadits dan dapat menta’dilkan dan menjarhkan rawinya. Beliau harus
menghafal Hadits-hadits shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak
purbasangka), ‘illat-illat Hadits dan istilah-istilah para muhadditsin. Menurut
sebagian pendapat, Al-hafidz itu harus
mempunyai kapasitas menghafal 100.000 Hadits. Para Muhadditsin yang
mendapat gelar ini antara lain ialah: Al-‘Iraqy, Syarafuddin Ad-Dimyathy, Ibnu
Hajar Al-Asqalany.
5)
Al-Muhaddits
Menurut Muhadditsin mutaqaddimin
Al-Hafidz dan Al-Muhaddits itu searti.Tetap menurut mutaakhirin, Al-Hafidz itu
lebih khusus dari pada Al-Muhaddits. Kata At-Taju’s-Subhi: “Al-Muhaddits ialah
orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘illat-illat, nama-nama rijal
(rawi-rawi), ‘ali (tinggi) dan nazil (rendah)nya suatu Hadits, memahami Kutubus
sitttah, Musnad Sanad, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jamu Thabarany dan menghafal Hadits
sekurang-kurangnya 1000 buah. Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain:
‘Atha’ bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat mekkah, wafat; 115 H) dan imam
Az-zabidy (salah seorang ‘ulama yang
mengikhtisarkan kitab bukhary Muslim).
6)
Al-Musnid
Yakni gelar keahlian bagi orang yang
meriwayatkan Hadits beserta sanadnya.Baik menguasainya ilmunya maupun
tidak.Al-Musnid juga disebut dengan At-Thalib, Al-Mubtadi’ dan Ar-Rawy.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawi
adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi hadits
mempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam,
Baligh, Adil, dan Dhabit. Tidak boleh seorang perawi hadits seseorang yang
kafir.
Tahammul dalam bahasa artinya “menerima”
dan ada’ artinya “menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata
al-hadits, maka “tahammul hadits” merupakan kegiatan menerima riwayat
hadits. Sedangkan “ada’ul hadits” meerupakan kegiatan menerima dan
menyampaikan riwayat hadits secara lengkap.
Syarat-syarat perawi:
·
Islam
·
Baligh
·
‘Adalah
·
Dhabit
Gelar para ulama’ hadist adalah;
·
Amirul mu’minin fil hadits
·
Al hakim
·
Al hujjah
·
Al hafidh
·
Al muhaddits
·
Al musnid
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,Fatchur. 1995. ikhtisar mushthalahul hadits. Bandung: PT Alma’arif
Itir, Nuruddin. 1997.Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis. Damaskus: Dar el Fikri
Soetari, Endang.1997. Ulumul Hadis.
Bandung:Amal Bakti Press
Ma’luf, Luwis. 1973.al-Munjid fial-Lughah.
Beirut: Dar al-Masyriq
Tim guru MGPK provinsi jawa timur. 2008. Hadis. Mojokerto: Sinar mulia
Itir,Nuruddin. 2012. ulumul hadis. Rosda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar