Jumat, 04 Maret 2016

Makalah BK_Landasan Dalam Melaksanakan Bimbingan Dan Konseling

LANDASAN DALAM MELAKSANAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling yang di Bimbing oleh Drs. Sarwan, M.Pd.




Oleh

Kelompok 2 :
NAHDLIATUN NAFISAH
NAHDIAH SAIDAH
LAILATUL QOMARIYAH
IMAM ABU YAZID B
 084142054
 084142075
 084142065
 084142053


PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
 2015


KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr.wb
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam tercurahkan selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah member petunjuk jalan yang benar untuk umatnya.
Makalah yang berjudul Landasan Dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling disusun untuk memenuhi tugas Bimbingan dan Konseling. Terima Kasih penyusun ucapkan kepada pihak  yang  telah  membantu  dalam terselesaikannya makalah ini. Terutama kepada Dosen Bimbingan dan Konseling yaitu Bapak  Drs Sarwan, M.Pd yang telah memberikan bimbingannya sehingga terselesaikannya makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna  dan banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun sangat penyusun harapkan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca khususnya.
Wassalamu alaikum wr.wb



Jember,  Oktober 2015


Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I  PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1 Landasan Historis dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling ........... 3
2.2 Landasan Filosofis dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling........... 4
2.3 Landasan Sosial Budaya dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling.. 8
2.4 Landasan Religius dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling............ 9
2.5 Landasan Psikologis dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling....... 11
2.6 Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling           13
2.7 Landasan Pedagogis dalam Melaksanakan Bimbingan dan Konseling...... 14

BAB III PENUTUP............................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 16
3.2 Saran ........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa bimbingan dan konseling memiliki landasan historis, filosofis, religius, sosial budaya, psikologi, pedagogis, IPTEK. Setiap landasan memiliki peran yang sama pentingnya dalam proses bimbingan dan konseling. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa klien atau siswa melakukan tindakan kenakalan karena kurangnya keilmuan agama yang mana di dalamnya ada landasan moral, sehingga petugas bimbingan dan konseling haruslah mengerti dan faham bagaimana penyampaian norma-norma agama kepada klien dan bagaimana membimbing klien kepada penyelesaian berdasarkan agama atau landasan religius. Tidak hanya itu dalam mencari problem klien hendaknya pembimbing atapembimbing atau konselor melihat dan menelaah psikologis klien sebagaimana psikologis sebagai landasan bimbingan dan konseling.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan Historis dalam Melaksanakan bimbingan dan konseling?
2.      Bagaimana landasan filosofis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?
3.      Bagaimana landasan sosial budaya dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?
4.      Bagaimana landasan religius dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?
5.      Bagaimana landasan psikologis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?
6.      Bagaimana landasan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?
7.      Bagaimana landasan pedagogis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui landasan Historis dalam Melaksanakan bimbingan dan konseling
2.      Untuk mengetahui landasan filosofis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling
3.      Untuk mengetahui landasan sosial budaya dalam melaksanakan bimbingan dan konseling
4.      Untuk mengetahui landasan religius dalam melaksanakan bimbingan dan konseling
5.      Untuk mengetahui landasan psikologis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling
6.      Untuk mengetahui landasan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling
7.      Untuk mengetahui landasan pedagogis dalam melaksanakan bimbingan dan konseling



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Landasan historis
Secara umum konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal oleh manusia melalui sejarah. Sebagai contoh Plato dapat dipandang sebagai konselor yunani kuno, karena dia telah menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pemahaman psikologis individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam masyarakat dan teologis.
Sebagai konselor kedua di yunani adalah Aristoteles (murid plato). Dia banyak berkontribusi pemikiran ke dalam bidang psikologi. Salah satu sumbangan pemikirannya adalah studi tentang interaksi individu dengan lingkungan dan yang lainnya, serta upaya mengembangkan fungsi individu secara optimal.
Luis Vives adalah seorang filosof dan juga pendidik berpendapat bahwa merupakan suatu kebutuhan membimbing individu yang sesuai dengan sikap dan bakatnya. Di samping itu dia mengemukakan bahwa para wanita pun harus dipersiapkan untuk dapat bekerja. Paparan diatas merupakan sekilas pandang para tokoh tentang bagaimana bimbingan dan konseling itu berkembang.dari mulai zaman yunani kuno sampai abad 18-an. Pada uraian berikut akan dijelaskan tentang bagaimana tonggak tonggak sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika dan Indonesia.

A.    Perkembangan layanan bimbingan di Amerika
Sampai awal abad ke 20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru, seperti dalam memberikan layanan informasi layanan bimbingan pribadi, sosial, karir dan akademik. Gerakan bimbingan itu mulai berkembang pada tahun 1896,  Jesse B Davis, seorang konselor sekolah di Detroit memulai memberikan layanan konseling dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia diangkat menjadi kepala SMA di Grand Rapids, Michigan. Dia memasukkan program bimbingan disekolah tersebut. Tujuan dari program bimbingan disini adalah untuk membantu siswa agar mampu (a) mengembangkan karakternya yang baik memiliki nilai moral, ambisi, bekerja keras, dan kejujuran. Sebagai aset yang sangat penting bagi setiap orang dalam rangka merencanakan, mempersiapkan, dan memasuki dunia kerja [bisnis]; (b) mencegah dirinya dari perilaku bermasalah dan (c) menghubungkan minat pekerjaan dengan kurikulum (mata pelajaran).
Pada waktu yang sama para ahli lainnya juga mengembangkan program bimbingan ini antara lain:
·         Eli Weaper (1906)
·         Frank Parson
·         E.G.Williamson
·         Carl R. Rogers
Pada tahun 1950 terjadi peristiwa peluncuran Sputnik I Uni Soviet. Peristiwa ini sangat mencemaskan warga negara Amerika Serikat, karena mereka pikir bahwa peristiwa ini merupakan isyarat tentang dominasi Uni Soviet dalam bidang teknologi industri dan bidang ilmiah lainnya. Untuk merespon protes warga masyarakat, pada bulan September tahun 1958 Kongres menyusun undang-undang, termasuk undang-undang pertahanan pendidikan nasional (National Defense Education Atc).
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengucurkan dana bagi pendidikan, seperti untuk pelatihan para konselor SLTP dan SLTA, dan mengembangkan program testing, program konseling sekolah, dan program bimbingan lainnya. Peristiwa ini merupakan “land mark” (peristiwa penting) dalam dunia pendidikan di Amerika termasuk gerakan bimbingan dan konseling.

B.     Layanan bimbingan di indonesia.
Perkembangan layanan di Indonesia berbeda dengan Amerika. Perkembangan di Amerika dimulai dari usaha perorangan dan pihak swasta, kemudian berangsur angsur menjadi usaha pemerintah sementara di Indonesia dimulai dengan kegiatan disekolah dan usaha usaha pemerintah.
Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia telah dibicarakan secara terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA yaitu terjadi perubahan nama menjadi SMA Gaya baru, dan berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya kelas I menjadi di kelas II. Program penjurusan ini merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa kejurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan.Dalam rencana pelajaran SMA Gaya baru diantaranya sebagai berikut:
a.        Di kelas 1 setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan minatnya, dengan jalan menjelahi segala jenis mata pelajaran yang ada di SMA, dan dengan ebimbingan penyuluhan yang teliti dari para guru maupun orang tua.
b.       Dengan menggunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan bahan catatan dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar di salurkan ke kelas II kelompok khusus: Budaya, Sosial, Pasti, dan Pengetahuan Alam.
c.       Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan seteliti-litinya.
Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap perluasan program bimbingan di sekolah.
Perkembangan bimbingan dan konseling di indonesia menjadi semakin mantap dengan terjadinya perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling di Indonesia (ABKIN) pada tahun 2001. Pemunculan nama ini di landasi terutama dengan pemikiran bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik.

1.      Landasan Filosofis
Landasan Filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis, maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai mahluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut, maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapakan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan klienya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
Selanjutnya dari sudut pandang Islam, Faqih A.R setelah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasul saw., manusia itu secara hakiki memiliki sifat kodrat sebagai berikut:
a.       Manusia terdiri dari berbagai unsur yang membentuk kesatuan, utuh dan tidak terpisahkan. Unsur tersebut terdiri dari jasmani rohani, berakal, berhati nurani, berpenglihatan, berpendengaran dsb. Istilah ini sering disebut makhluk monopolistis atau “wahdatul ‘anasir”.
b.      Manusia memiliki empat fungsi yaitu:
1)        Sebagai makhluk Allah yang diciptakan Allah dan wajib mengabdi (ibadah) kepada Allah swt.
2)        Sebagai makhluk individu yang memiliki hak menentukan dirinya sendiri dalam segala urusan hidup.
3)        Sebagai makhluk sosial yang harus hidup bersama dengan masyarakat manusia yang pluralistik.
4)        Sebagai kholifah fil ardh, wakil Allah di dunia yang memiliki kewajiban mengelola dan memakmurkan bumi untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
c.       Manusia memiliki sifat-sifat utama (akal, qolbu, perasaan) sekaligus memiliki kelemahan-kelemahan pula.
d.      Manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya baik di dunia maupun di akhirat.[1]
Pengkajian landasan filosofis bimbingan dan konseling ini difokuskan kepada pembahasan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a)      Makna, Fungsi, dan Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan dan Konseling
Kata filosofis atau filsafat adalah bahasa arab yang berasal dari kata yunani: filosofia (philosopia). Dalam bahasa yunani kata filosofia itu merupakan majemuk yang terdiri atas filo (philos) dan sofia (shopos). Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu. Sementara sofia artinya kebijaksanaan atau hikmah. Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu dengan mendalam.
Sikun Pribadi (1981) mengartikan filsafat ini sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini”. Dapat diartikan juga sebagai perenungan atau pemikiran tentang kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, religi serta sosial-budaya.
Sepanjang masa manusia selalu bertanya-tanya tentang makna atau hakikat segala sesuatu, termasuk hakikat dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti seperti: Apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia, dan kemana perginya? Siapakah saya (manusia) ini? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, karena menyangkut misteri hidup, yang tetap merupakan teka-teki bagi manusia.
Mempelajari filsafat tidak hanya sebatas memikirkan sesuatu sebagai perwujudan dari hasrat atau keinginan untuk mengetahui sesuatu, melainkan memang filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah.
b)      Hakikat Manusia
Pada uraian berikut dipaparkan beberapa pendapat para ahli atau madzhab konseling tentang hakikat manusia, yaitu di antaranya:
Viktor E.Frankl mengemukakan bahwa manusia, selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Melalui dimensi spiritual itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada diluar dirinya dan mewujudkan idenya.
Sigmund Freud mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia bersifat pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
Passons (Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchel, 1986: 121) mengemukakan bahwa individu setiap manusia memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.
Aliran Humanistik memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia. Para ahli teori humanistik mempunyai keyakinan bahwa menusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri, memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, yang dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan. Manusia merupakan mahluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional, atau konflik.
c)      Tujuan dan Tugas Kehidupan
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, sejahtera, nyaman, dan menyenangkan. Secara ekstrim, Freud mengatakn bahwa manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan (pleasure principle) dan menghindar dari rasa sakit (kondisi yang tidak menyenangkan).
Paparan tentang hakikat, tujuan, dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikiratau nalar para ahli mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap klien yang seyogiyanya didasarkan kepada harkat dan martabat kemanusiaannya manusia. Bagi bangsa Indonesia, yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat.
Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut:
a.       Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila.
b.      Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
c.       Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung terwujudkannya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya.[2]

1.      Landasan Sosial Budaya
Arus modernisasi disamping berdampak positif, seperti diperolehnya kemudahan dalam bidang komunikasi dan transportasi, namun disisi lain ternyata telah dilahirkan dampak yang kurang menguntungkan, yaitu dengan timbulnya gejala berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun sosial. Manusia modern telah terperdaya oleh produk pemikirannya sendiri karena tidak mampu mengontrol dampak sampingnya seperti rusaknya lingkungan (banjir, longsor, polusi udara, dan air) yang memporak-porandakan kenyamanan hidupnya sendiri.[1]
Kehidupan yang terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan biologis) telah menelantarkan supra empiris manusia, sehingga terjadi kemiskinan rohaniah dalam dirinya. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi berkembangnya masalah pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman.
Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup secara sendiri tanpa orang lain. Klien (siswa) sebagai manusia juga merupakan makhluk sosial. Dimensi sosial manusia harus tetap dipertahankan sambil terus dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling.
Kebutuhan akan bimbingan timbul karena adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh individu yang terlibat dalam kehidupan masyarakat. Semakin rumit struktur masyarakat dan keadaannya semakin banyak dan rumit masalah yang dihadapi oleh individu yang terdapat dalam masyarakat itu.[2]
Jadi kebutuhan akan bimbingan itu timbul karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor itu diantaranya sebagai berikut:
a.       Perubahan konstelasi keluarga
b.      Perkembangan pendidikan
c.       Dunia kerja
d.      Perkembangan kota metropolitan
e.       Perkembangan komunikasi
f.       Seksisme dan rasisme
g.      Kesehatan mental
h.      Perkembangan teknologi
i.        Kondisi moral dan keagamaan
j.        Kondisi sosial ekonomi.[3]
Proses konseling yang bersifat antarbudaya (konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda) sangat peka terhadap pengaruh dari sumber-sumber hambatan komunikasi seperti bahasa dan lain sebagainya. Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi, dan bahasa bisa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling. Oleh sebab itu, konselor harus bisa menjaga netralitas sosial budaya dalam memberikan bantuan (melakukan bimbingan konseling).[4]

1.      Landasan Religius
Landasan religius bimbingan dan konseling pada dasarnya ingin menetapkan klien sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaan-Nya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling. Pembahasan landasan religius ini, terkait dengan upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling.[1]
Implementasi unsur agama di dalam konseling tidak menuntut konselor menjadi ulama atau mengkemas suasana konseling dengan dakwah agama tetapi dilakukan dengan wajar saja, jangan dipaksakan dan tetap memberikan kebebasan pada klien untuk menentukan nasibnya sendiri. Proses bimbingan dan konseling tetap diwarnai aspek religius, maka konselor sendiri hendaknya adalah orang yang telah mengamalkan ajaran agamanya yang memiliki iman dan taqwa yang dinamik.
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan di akhirat. Berkaitan dengan hidup, perlu dipahami apakah hakikat hidup, mengapa hidup, apakah tujuan hidup, hendak kemana hidup kita ini, berapa tahun kita akan hidup, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab dengan pas jika kita menelaah petunjuk Allah di dalam kitab suci-Nya. Dengan kata lain, hidup manusia tidak dapat dipisahkan dengan aspek religi (agama). Keyakinan manusia bahwa dirinya sebagai makhluk Tuhan sebagai kholifah di muka bumi, harus dijaga dan difungsikan oleh manusia itu sendiri.[2]
Landasan religius bagi layanan bimbingan dan konseling setidaknya ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu:
a.       Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Allah SWT.
b.      Sikap yang mendorong perkembangan dan peri kehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah.
c.       Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannnya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan pemecahan masalah individu.

1.      Landasan Psikologis
Di lingkungan pendidikan yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling adalah peserta didik (siswa atau mahasiswa). Peserta didik merupakan pribadi-pribadi yang sedang berada dalam proses berkembang ke arah kematangan. Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik pribadi yang unik. Dalam arti terdapat perbedaan individual di antara mereka, seperti menyangkut aspek kecerdasan, emosi, sosiabilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian diri.
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang prilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Subjek bimbingan dan konseling adalah individu yang bermasalah dan tidak mampu memecahkan masalahnya. Sebagai individu, manusia memiliki tingkah laku, bakat dan minat, motif, perhatian, perasaan, ingatan, pribadi, intelek, qalbu serta unsur-unsur yang lain. Setiap individu adalah makhluk yang unik, artinya individu yang satu akan berbeda dengan individu yang lain.[1]
Peserta didik sebagai individu yang dinamis dan berada dalam proses perkembangan, memiliki kebutuhan dan dinamika dalam interaksi dalam lingkungannya. Di samping itu, peserta didik senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikap dan tingkah lakunya. Proses perkembangan tidak selalu berlangsung secara linier, tetapi bersifat fluktuatif dan bahkan terjadi stagnasi atau diskontinuitas perkembangan. Dalam proses pendidikan, peserta didik pun tidak jarang mengalami masalah stagnasi perkembangan, sehingga menimbulkan masalah-masalah psikologis, seperti terwujud dalam perilaku menyimpang atau bersifat infantilitas.
Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang motif dan motivasi, pembawaan dan lingkungan, perkembangan individu, belajar, dan kepribadian.[2]
a.       Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku, baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti: rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya, motif-motif tersebut diaktifkan dan digerakkan, baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar diri individu (motivasi ekstrinsik), menjadi bentuk perilaku intrumental atau aktifitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b.      Pembawaan dan Lingkungan

c.       Perkembangan Individu
d.      Belajar
e.       Kepribadian

1.      Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
            Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun praktiknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes,inventory atau analisis labotaris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
            Selain perlu dukungan sejumlah ilmu, praktik bimbingan dan konseling juga memerlukan dukungan perangkat teknologi. Dukungan perangkat teknologi terhadap praktik bimbingan dan konseling antara lain dalam pembuatan instrumen bimbingan dan konseling atau dalam penggunaan berbagai alat atau media untuk memperjelas materi bimbingan dan konseling.
            Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh Mc Daniel bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.[1]
            Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilmiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

2.      Landasan Pedagogis
Pendidikan merupakan transformasi sosial budaya bagi suatu masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat senantiasa menyelenggarakan pendidikan untuk menjamin kelangsungan kehidupannya. Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan dapat berupa lembaga swasta maupun yang tidak dilembagakan (jalur luar sekolah) atau masyarakat sebagai pusat sumber belajar yang dirancang sedemikian rupa serta dimanfaatkan kepentingan pendidikan. Usaha masyarakat kini semakin maju menyesuaikan dengan kemajuan Iptek serta kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kesemuanya berfungsi sebagai alih nilai dan norma sosial budaya bagi masyarakat itu sendiri.[2]
Dalam sistem pendidikan nasional, kegiatan bimbingan selalu menyertai kegiatan pendidikan. Disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan latihan. Oleh karena itu kegiatan bimbingan tidak dapat ditinggalkan dalam aktivitas pendidikan. Bimbingan merupakan kegiatan pendidikan dan merupakan proses pengiring pendidikan.
Hasil bimbingan merupakan kemampuan si terbimbing untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kemampuan tersebut bersifat permanen dan dapat ditransfer untuk mengatasi masalah lain di kemudian hari.
Landasan pedagogis pelayanan bimbingan dan konseling setidaknya berkaitan dengan:
a.       Pendidikan sebagai upaya pengembangan manusia dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan
b.      Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling.
c.       Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling.[3]
Dengan demikian, pelayanan bimbingan dan konseling harus terkandung aspek-aspek pendidikan seperti:
1)      Usaha sadar dari pembimbing atau konselor kepada peserta didik (klien)
2)      Menyiapkan peserta didik (klien)
3)      Untuk perannya di masa yang akan datang yang diwujudkan melalui tujuan-tujuan bimbingan dan konseling.
Upaya bimbingan dan konseling atau pencapaian tujuan-tujuan bimbingan dan konseling tidak boleh menyimpang dari tujuan-tujuan pendidikan baik secara umum maupun khusus. Tujuan umum adalah yang dirumuskan dalam Undang-Undang, sedangkan tujuan khusus adalah yang dirumuskan dalam kurikulum yang di implementasikan dalam proses pendidikan dan pembelajaran.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Landasan dalam melaksanakan bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut:
1)      Landasan historis
2)      Landasan filosofis
3)      Landasan sosial budaya
4)      Landasan religius
5)      Landasan psikologis
6)      Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi
7)      Landasan pedagogis










DAFTAR PUSTAKA
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah: Berbasis Integrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Marsudi, Saring. 2010. Layanan Bimbingan di Sekolah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Yusuf, Syamsu. 2009. Landasan-landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Aqib, Zainal. 2012. Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Yrama Widya.













           


[1]Zainal Aqib, Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Bandung: Yrama Widya, 2012), 25
[2] Saring Marsudi, Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2010), 75
[3] Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah: Berbasis Integrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 103
[1] Saring Marsudi, Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2010), 73
[2] Zainal Aqib, Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Bandung: Yrama Widya, 2012), 18


[1] Syamsu Yusuf, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 133
[2] Saring Marsudi, Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2010), 71


[1] Ibid,.117
[2] Ibid., 119
[3] Syamsu Yusuf, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 119-130
[4] Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah: Berbasis Integrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 100-101


[1] Saring Marsudi, Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2010), 70-71
[2] Syamsu Yusuf, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 113


Tidak ada komentar:

Posting Komentar