Senin, 14 Maret 2016

Makalah Ahlak Tasawwuf__Ahlak dan Problem Kebahagiaan

AHLAK DAN PROBLEM KEBAHAGIAAN

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ahlak Tasawwuf yang dibimbing

oleh Bapak Ubaidillah, M.pd



Oleh Kelompok 06 :
Elviatul Laili               (084142060)
Fathor Rahman           (084142061)
Lailatul Qomariyah     (084142062)
Deni indriani               (084142063)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2015


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
            Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayahNya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca khususnya.
            Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusun makalah ini terutama kepada Bapak Ubaidillah, M.pd  selaku dosen mata kuliah Ahlak Tasawuf yang telah memberikan arahan serta bimbingannya dalam terselesikannya makalah ini.
            Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan.Maka dari itu penulis mengharap kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum wr.wb


Jember, 11 Oktober 2015


Penyusun








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................
C.     Tujuan......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akhlak...................................................................................................
B.     Problem Kebahagiaan..............................................................................................
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ahlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang telah terlatih sedemikian rupa sehingga menjadi perangai yang mudah melahirkan laku perbuatan secara berulang-ulang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan sebelumnya.
Bahagia yaitu kelezatan (pleasure), kegembiraan /gembira (joy), kebahgiaan (happiness. Menurut MC Dougal bahwa gejala-gejala kejiwaan di atas merupakan keadaan kejiwaan yang bersifat umum. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi character dan mindset manusia, salahsatunya adalah pandangan dunia atau prinsip yang mereka miliki, sehingga prinsip tersebut ikut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak kebebasan (free will), seluruh tindakan sadarnya (voluntary action) adalah efek dari ilmu dan kehendaknya. Sehingga perbuatan baik ataupun jelek bersumber dari ilmu dan kehendak tadi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari akhlak?
2.      Apa problem kebahagiaan?

C.    Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui pengertian dari akhlak
2.         Untuk mengetahui problem kebahagiaan






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akhlak
Kata "akhlak" berasal dari bahasa arab yaitu " Al-Khulk " yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan.  Menurut istilahnya, akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. Dalam KBBI, akhlak berarti budi pekerti atau kelakuan.
Sedangkan menurut para pakar dalam mengartikan akhlak yaitu: menurut Ibnu Maskawaih, akhlak ialah "hal li nnafsi daa'iyatun lahaa ila af'aaliha min ghoiri fikrin walaa ruwiyatin" yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Abu Hamid Al Ghazali, akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan senang dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan terlebih dahulu. 
Menurut Ahmad bin Mushthafa, akhlak merupakan sebuah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan, dimana keutamaan itu ialah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan yakni kekuatan berpikir, marah dan syahwat atau nafsu.
Menurut Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani, akhlak merupakan sesuatu yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan.
Menurut Ahmad Amin, sebagian ahli ilmu akhlak memberi batasan akhlak bahwasannya ia adalah kehendak yang telah dibiasakan (عادةالارادة) artinya bahwa kehendak itu jika membiasakan suatu perbuatan maka perbuatan itu dinamakan akhlak.
            Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang telah terlatih sedemikian rupa sehingga menjadi perangai yang mudah melahirkan laku perbuatan secara berulang-ulang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan sebelumnya.
            Menurut penyelidikan Prof. Omar Muhammad At-Tamu As-Saibary bahwa di dalam Al Qur’an terdapat 1504 ayat yang berhubungan dengan masalah akhlak, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, atau hampir ¼ ayat Al-Qur’an berkaitan dengan akhlak. Namun secara verbal menyebutkan bahwa perkataan (khuluq) dapat ditemui pada 2 ayat/surat pertama dalam surat Al-Qolam, ayat 4:  
ﻮﺃﻧﻚ ﻟﻌﻟﻰ ﺨﻟﻖﻋﻈﻴﻢ (ﺃﻟﻘﻟﻢ :٤)
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada diatas budi pekerti yang luhur”
Surat ke-2 dalam surat as-Syu’aro ayat : 147.
أن هذا الا خلق ألاولين (ٲلشعراء :١٤٧)
“Agama kami ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang “dahulu”.
                                
     Perbedaan pada ayat pertama kata khuluk disebut dalam konotasi yang bersikap memuji (kepada Muhammad) dan merupakan petunjuk suatu potret serta kriteria perilaku baik yang harus diteladani dan diperbuati sedangkan pada ayat kedua kata khuluk disebutkan dalam konteks gambaran/ilustrasi sebagai agama.
Kecuali dalam Al Qur’an kata khuluq/akhlak disebutkan pula dalam hadist Nabi SAW dalam bentuk mufrod tunggal maupun jama’ yang berbunyi:
ٲكمل المؤمنين ايما نا أحسنهم حلقا ( رواه ترمذى)
“Orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya”
  أنمابعثت لاتم مكارم الاخلق ( روه احمد)
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.

Dalam Al-Qur'an surat Al-Qolam ayat 4 dikatakan bahwa "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada diatas budi pekerti yang agung". Dan dalam sebuah haditspun dikatakan bahwa " Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". 
Sehingga jelas bagi umat Islam diseluruh alam berpatokan pada akhlaknya nabi Muhammad SAW. Akhlak terpuji yang ada dalam diri Rasulullah SAW patut kita jadikan contoh dan suri tauladan yang baik. Ada dua sumber yang harus dijadikan sebagai pegangan hidup yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah yang keduanyapun dijadikan sumber akhlak islamiyah. Jika manusia telah berakhlakul karimah atau akhlak yang baik, mulia, terpuji InsyaAllah hidupnya akan jauh lebih baik. 

B.     Problem Kebahagiaan
a)      Arti Kebahagiaan
Ada beberapa istilah sejenis, yaitu kelezatan (pleasure), kegembiraan/gembira (joy), kebahgiaan (happiness), dengan ketiga istilah ini dapat mengaburkan pengertian. Menurut MC Dougal bahwa gejala-gejala kejiwaan di atas merupakan keadaan kejiwaan yang bersifat umum.
Kelezatan itu waktunya singkat sekali, dan banyak berkaitan dengan segi-segi jamaniah, misalnya kelezatan yang timbul dari makanan, minuman dan pakaian. Adapun kegembiraan waktunya agak lebih panjang. Pada umunya lebih bersifat kejiwaan, karena ada kaitannya dengan perasaan, misalnya bergembira karena bertemu dengan teman lama atau sembuh dari sakit yang berat, dan lain sebagainya.
Sedangkan kebahagiaan waktunya lebih panjang dari keduanya bahkan dapat juga berlangsung seumur hidup. MC Dougal mengatakan biasanya orang-orang yang merasakan kebahgiaan sanggup menyelesaikan suatu kewajiban yang dipercayakannya.
Rasa harga diri timbul bahwa menunaikan kewajiban adalah melaksanakan orang tentang dirinya, kemudian ia merasa bahagia sebagai hasil nyata dunia, self realitasisme, dapat kita lihat bahwa kebahagiaan juga berkaitan dengan integritas pribadi seseorang. Keadaan ini timbul dari adanya keselarasan dan keserasian yang sempurna antara dorongan-dorongan dan sentimen-sentimen pribadi seseorang.
Dengan adanya kesatuan dan keserasian inilah yang menyebabkan atau menjamin pengarahan potensi manusia yang timbul dari pembawan naluri untuk mencapai tujuan yang diinginkan, apabila tujuan itu tercapai maka sesorang akan merasa puas, kepuasan yang sadar dan dirasakan seseorang karena keinginannya disadari memiliki sesuatu yang baik, itulah yang dinamakan kebahagiaan.
b)      Ragam Penafsiran Tentang Kebahagiaan
Perbedaan pendapat yang menjadi obyek yang dapat memberikan kebahagiaan timbullah beberapa aliran:
1)      Hedonisme
            Menurut aliran ini, bahwa kebaikan tertinggi yang menjadi tujuan segala manusia adalah kebahagiaan dalam bentuknya yang kasar, hedonisme menganggap kebahagiaan jasmaniah yang berupa kelezatan (pleasure).
            Aliran ini lebih menekankan kelezatan jasmaniah/panca indra karena dipandang dalam intensif dari pada kesenangan intelektual. Walaupun lebih tinggi nilainya, menganggap bahwa dalam hidup ini diperlukan ketangkasan hidup untuk memungkinkan, memilih saat-saat kepuasan/kelezatan yang lestari (long continuepleasure).
2)      Epilurisme
            Aliran ini pada dasarnya merupakan hedonisme dalam bentuk yang lebih luas. Tujuan hidup bukan kelezatan tetapi kedamaian. Maka aliran ini berusaha mencapai kebahagiaan dengan memperoleh ketentraman jiwa/batin sebanyak-banyaknya, menjauhi penderitaan sekecil-kecilnya.
            Kesenangan intelektual lebih baik sebab lebih tahan lama dibandingkan kesenangan jasmaniah, agar sesorang tetap dalam keadaan bahagia, ia harus membatasi diri dari keinginan-keinginan sebagai cita-cita yang luhur suatu upaya menghilangkan keinginan-keinginan yang tidak dapat dicapai.
3)      Utilitarianisme
            Ia lahir dari hedonisme, aliran ini mementingkan nilai guna/manfaat, ia tidak tamak/egoistis, juga memandang kepentingan kelompok untuk melaksanakan kepuasan bersama. Tujuan hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah terbesar. Ukurannya bersifat kuantitatif, tokohnya adalah Jeremy Benthan (1748-1832).
4)      Stoisisme
            Aliran ini tumbuh dari seorang murid Socrates Antithines yang mendirikan aliran Cymika. Pendapatnya bahwa kebahagiaan adalah sifat yang dicapai dengan jalan melepaskan diri dari tiap-tiap keinginan, kebutuhan, kebiasaan/ikatan yang mengurangi kebebasan seseorang. Menurut aliran ini, kebahagiaan tidak terdapat pada kepuasan, melainkan terletak pada kelepasan seseorang merasa cukup pada dirinya sendiri. Hal inilah yang dipandang sebagai kebaikan dan kewajiban.
            Pengikutnya memandang hina pada kekayaan, kesenangan, keluarga, dsb, bahkan memandang hina pada tata krama/sopan santun karena mengurangi kebebasan manusia. Terikat pada pribadi sendiri adalah sifat-sifat yang sangat dihargai oleh Stoisisme.
5)      Evolusiraisme
            Ini adalah ajaran kemajuan dan pertumbuhan, kemajuan dipandang sebagai tujuan hidup, tidak peduli kemana kaki menuju, jadi prosesnya sendiri itulah yang penting walaupun tujuan akhirnya tidak diketahui dan dikenal. Tokohnya adalah Herbert Spencer yang menghubungkan evolusionisme dengan etika, menurutnya bahwa perbuatan itu disebut baik/buruk tergantung pada tujuannya.
c)      Obyek Kebahagiaan dan Kebahagiaan Tertinggi
Setiap manusia ingin kebahagiaan, kebahagiaan tertinggi/kebahagiaan sempurna, karena sifatnya yang kadang terbit dari hakekat manusia itu sendiri. Keinginan tersebut berasal dari Tuhan. Permasalahannya: apakah yang sebenarnya yang menjadi obyek kebahagiaan itu sendiri?
Berdasarkan kenyataan obyektif kemampuan penalaran manusia sendiri ada 3 kemungkinan yang menjadi obyek kebahagiaan tertinggi.
1)      Sesuatu di bawah manusia, seperti harta, keluarga, kekuasaan, kedudukan, dsb. Semua ini ternyata masih memerlukan penjabaran/menyusahkan dan harus ditinggalkan, jadi merupakan kebahagiaan yang tidak sempurna yang akhirnya ditinggalkan.
2)      Manusia sendiri, hal ini tidak mungkin dapat menjadi obyek kebahagiaan sempurna, karena baik rohani maupun jasmani tidak mungkin merasa puas pada dirinya sendiri. Tidak sempurnanya karena sesuai dengan obyek manusia itu sendiri.
3)      Sesuatu di atas manusia, obyek kebahagiaan tertinggi harus dicari di luar dan di atas manusia. Dan sesuatu yang merupakantujuan akhir dari seuruh kehidupan manusia, yaitu: Tuhan. Tuhan menurut akal kita pasti dapat memenuhi segal tuntutan kita.
Para filosof (non ateis) membagi kebahagiaan menjadi 2 macam yaitu: jasmaniah dan rohaniah. Hal ini juga dipegang para filosofis yang membahas ilmu akhlak seperti Ibnu Maskawaih dan Al Ghozali.
Ibnu Maskawaih banyak dipengaruhi Aristoteles yang mengatakan kebahagiaan itu mempunyai 2 tahap sesuai dengan tabiat manusia, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Kebahagiaan rohani sebagai kebahagiaan tingkat tertinggi, sedangkan kebahagiaan jasmani mempunyai martabat rendah yang bersifat sementara, dapat sakit, menyesal karena tertipu oleh panca indra. Sedangakan puncak kebahagiaan rohani terletak pada kebahagiaannya dengan Tuhan karena prang dapat mengendalikan hawa nafsunya, dsb.
Hujatul Islam Al Ghozali membagi kebahagiaan menjadi 2 macam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia meliputi 4 macam dan masing-masing memiliki bagian:
1.      Keutamaan akal budi
a.       Ilmu (al-ilmu) atau al-hikmah
b.      Suci diri (al-iffah)
c.       Berani (as-saja’ah)
d.      Adil (al-adl)
2.      Keutamaan tubuh
a.       Sehat (al-asihah)
b.      Kuat (al-kuwah)
c.       Elok/bagus (al-jamal)
d.      Panjang umur (thowil umur)
3.      Keutamaan luar badan
a.       Harta benda (al-malu)
b.      Keluarga (al-ahlu)
c.       Terhormat (al-idju)
d.      Mulia turunan (karomah arrumah)
4.      Keutamaan bimbingan
a.       Petunjuk Allah (al-hidayah)
b.      Pimpinan Allah (an-nash)
c.       Sokongan Allah/dorongan (tasdid)
d.      Bantuan Allah (tasyid)
Kebahagiaan akhirat sifatnya kekal sebagai kebahagiaan tertinggi. Kebahagiaan ini semua banyak diberikan atau dicapai oleh nabi dan wali. Orang harus menguasai jiwnya dengan keutamaan (al fadhilah). Menurut akhlak Islam banyak dimuat dalaam Al Quran dan As Sunnah bahwa kebahagiaan tertinggi adalah bersifat universal dan mempunyai predikat mardhotillah. Islam menghendaki kebahagiaan jasmani dan rohani dunia akherat.
d)     Problem kebahagiaan
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi character dan mindset manusia, salah satunya adalah pandangan dunia atau prinsip yang mereka miliki, sehingga prinsip tersebut ikut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak kebebasan (free will), seluruh tindakan sadarnya (voluntary action) adalah efek dari ilmu dan kehendaknya. Sehingga perbuatan baik ataupun jelek bersumber dari ilmu dan kehendak tadi.
Dengan cara ini kita menganalisa fenomena perbuatan manusia. Sejumlah manusia telah beranggapan bahwa kebahagiaaan hanya terletak pada hal-hal yang bersifat materi. Pandangan ini mendorong mereka untuk mencapai kebahagiaan tersebut dengan cara apapun. Hal ini melahirkan perbuatan seperti konsumerisme, terorisme, korupsi, penyalahgunaan obat-obatan, padahal, perbuatan-perbuatan tersebut tidak sesuai dengan rasionalitas pada manusia yang merupakan differentia yang membedakan manusia dari spesies lainnya.
Atas dasar ini, perlu bagi kita untuk merumuskan kembali, apa kebahagiaan yang sesuai dengan rasionalitas manusia. Hal ini dikarenakan cara pandang atau world view menyangkut hakikat manusia dan tujuan penciptaannya pada diri seseorang sangat menentukan tindak-tindakan yang diambilnya.
Para filosof peripatetik dalam berbagi karyanya telah mendiskripsikan dan menegakan argumentasi menyangkut kebahagiaan yang esensial bagi spesies manusia. Kebahagiaan tercapai, jika seseorang berhasil merealisasikan tujuan penciptaannya. Tujuan penciptaan suatu spesies dapat dilihat dari diffrentia spesies tersebut. Sehingga, kebahagiaan esensial manusia adalah terealisasinya natiqiyahnya, dalam hal ini akal nazori dan amali. Dan Ibn Sina bisa membuktikan dengan metode burhannya, bahwa kebahgiaan non-materi adalah lebih muliah, sempurna,tinggi, kuat, bertahan lama dari kebahagiaan materi.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Perbedaan pendapat yang menjadi obyek yang dapat memberikan kebahagiaan timbullah beberapa aliran:
1)      Hedonisme
2)      Epilurisme
3)      Utilitarianisme
4)      Stoisisme
5)      Evolusiraisme
Hujatul Islam Al Ghozali membagi kebahagiaan menjadi 2 macam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia meliputi 4 macam dan masing-masing memiliki bagian:
1.      Keutamaan akal budi
a.       Ilmu (al-ilmu) atau al-hikmah
b.      Suci diri (al-iffah)
c.       Berani (as-saja’ah)
d.      Adil (al-adl)
2.      Keutamaan tubuh
a.       Sehat (al-asihah)
b.      Kuat (al-kuwah)
c.       Elok/bagus (al-jamal))
d.      Panjang umur (thowil umur)
3.      Keutamaan luar badan
a.       Harta benda (al-malu)
b.      Keluarga (al-ahlu)
c.       Terhormat (al-idju)
d.      Mulia turunan (karomah arrumah)
4.      Keutamaan bimbingan
a.       Petunjuk Allah (al-hidayah)
b.      Pimpinan Allah (an-nash)
c.       Sokongan Allah/dorongan (tasdid)
d.      Bantuan Allah (tasyid)


DAFTAR PUSTAKA

Fakhry, Majid. 1996. Etika Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamka. 1990. Tasawwuf Modern. Jakarta: Pustaka  Panjimas.
 Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
 Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.