Sabtu, 04 Juni 2016

Makalah Filsafat Pendidikan Islam_KH.Hasyim Asy'ari dan Pemikirannya

KH. HASYIM ASY’ARI DAN PEMIKIRANNYA

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Yang Dibimbing Oleh: Drs. Ainur Rafik, M.Ag.



Oleh: Kelompok 7
                              Ratih Alimatul Muslimah           (084141008)
                                 Masfufatun                            (084141016)
                                 Clearita Presty Elmara           (084141023)
                                 Nanda Qorita Ayuni              (084141030)
                                 Nur Faizah                            (084141039)
                                 Umi Kulsum                          (084142059)
                                 Lailatul Qomariyah                (084142062)


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
MEI, 2016



Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik mencakup materi pokok secara ringkas sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami.
Semoga makalah ini bisa memberi manfaat yang optimal dalam proses pembelajaran, sehingga dapat dipelajari dengan baik dan mampu memaksimalkan potensi dalam diri para pembaca karena hanya melalui proses belajarlah akan terbentuk generasi penerus bangsa yang berwawasan luas dan mampu menjawab segala tantangan zaman.
Makalah kami ini berisi tentang biografi KH. Hasyim Asy’ari dan pemikirannya yang akan dibahas pada tiap-tiap halamannya. Materi-materi yang dipaparkan dimakalah ini merupakan hasil referensi kami dari buku-buku. Sehingga, dengan makalah ini pembaca diharapkan dapat lebih memahami Materi yang akan dipaparkan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. Ainur Rafik, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga amal kebaikan diterima Allah SWT dan mendapatkan imbalan dari Nya.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk perbaikan dimasa mendatang.

                                                                                     Jember, 22 Mei 2016


                                                                                    
                                                                                     Tim Penyusun   


   

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I   PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang...................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.  Tujuan Penulisan............................................................................ ....... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.  Biografi KH. Hasyim Asy’ari  .............................................................. 2
B.  Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari ........................................................ 3
C.  Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari .................................................... ....... 5
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan......................................................................................... 15
B.  Saran.................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga peasantren di semping sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh, dan kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau sebagai tokoh awal yang membuat mata rantai tradisionalisme di Indonesia, gara-gara dia meletakkan kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, sebuah organisasi sosial keagamaan yang saat ini terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan secara khusus, yakni kitab Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaju ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi. Oleh karena itu, pada penulisan makalah ini akan terfokus pada konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari pada buku tersebut.

B.     RumusanMasalah
1.      BagaimanaBiografiTentang KH. HasyimAsy’ari?
2.      ApasajaKarya-Karya KH. HasyimAsy’ari?
3.      BagaimanaPemikiran KH. HasyimAsy’ari?

C.    TujuanMasalah
1.      UntukMengetahuiBiografiTentang KH. HasyimAsy’ari.
2.      UntukMengetahuiKarya-Karya KH. HasyimAsya’ari.
3.      UntukMengetahuiPemikiran KH. HasyimAsy’ari.


1
 

BAB II
PEMBAHASAN

A.   BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang, salah satu desa yang berjarak sekitar satu kilometer sebelah utara kota Jombang-Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon, tanggal 24 Dzul’qaidah 1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri pesantren Gedang.Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd Al-Wahid ibn Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd-Al-Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijaya ibn Abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-Fatah ibn Abd Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[1]
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya dengan membaca al-Qur’an dan literatur-literatur islam lainnya. Sejak kecil, ia sudah dikenal dengan kegemarannya membaca. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di berbagai pesantren. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan, santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke Bangkalan, di sebuah pesantren yang diasuh oleh Kyai Kholil. Terakhir, sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren yang terakhir inilah ia diambil menantu oleh Kyai Ya’qub, pengasuh pesantren tersebut.
Pada tahun 1892, kyai Hasyim menikah dengan Khadijah, putri Kyai Ya’qub. Tidak berapa lama kemudian, ia beserta istri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar disana. Akan tetapi, setelah isterinya meninggal setelah melahirkan, disusul kemudian puteranya, menyebabkan kembali lagi ke Indonesia. Tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi ke Tanah Suci, tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar. Ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun, dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al-Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Aththar, Syaikh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqar, Sayyid Abbas Maliki,Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal, dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.
Pada tahun 1899/1900, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebu Ireng, pada tanggal 6 Februari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama kemudian berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat mencetak kader-kader ulama untuk wilayah Jawa dan sekitarnya. Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing/mengajar santri baru. Ketika di Mekah, ia sempat juga mengajar. Demikian pula ketika kembali ke Tanah Air, diabdikan seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah). Waktu mengajar adalah satu jam sebelum shalat, dan satu jam seusai shalat lima waktu.[2]

B.     KARYA KH. HASYIM ASY’ARI
Tidak banyak ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi, tidak demikian dengan K.H Hasyim Asy’ari. Tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain:
1.      Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa ma Yatawaqqaf ‘alaih al-Mu’allim fi Maqat Ta’limihi.Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik.
2.      Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
3.      At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat.Peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan Maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
4.      Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlul Sunnah Wal Jama’ah tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
5.      Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin(Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
6.      Hasyiyah’ala Fath al-Rahman bi Syarth Risalat al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam, Zakariya al-Anshari yaitu kitab syarah dari karangan al-Mursalin, yaitu kitab tentang mencintai Rasulullah saw serta mengikuti sunnah beliau.
7.      Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH.M. Yusuf Hasyim
8.      Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
9.      Al-Risalat al-Tauhidiyah, wahiya Risalah Shagirat fi Bayan ‘Aqidah ahl Sunnah wa al-Jamaah. Yaitu kitab tentang tauhid.
10.  Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid, yaitu kitab tentang kewajiban yang harus dikerjakan dalam akidah terbit pada tahun 1356 H/1937 M.
11.  Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdlatul Ulama’(1971M).
12.  Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah unuk memperkuat pegangan atas empat madzhab.
13.  Mawaidz (beberapa nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935)
14.  Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’. Berisi 40 hadits nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdlatul Ulama’.
15.  Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i, hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
16.  Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tasawuf, penjelasan tentang ma’rifat, syari’at, thariqah, dan haqiqat.[3]
Selain bergerak dalam dunia pendidikan, Kyai Hasyim menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama) sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto. Jabatan yang pernah diterimanya adalah menjadi ketua Masyumi, ketika NU bergabung di dalamnya. Ia wafat di Tebu Ireng, Jombang dalam usia 79 tahun, tepatnya tanggal 25 Juli 1947 / 7 Ramadhan 1366 H.

C.    PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
Salah satu karya monumental KH. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa ma Yatawaqqaf ‘alaih al-Mu’allim fi Maqat Ta’limihi, yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. Sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut. Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadits sebagai dasar dari penjelasannya, di samping beberapa ayat Al-Qur’an dan pendapat para ulama.[4]
Untuk memahami pokok pikiran dalam kitab tersebut perlu pula diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperials Belanda) diterapkan di Indonesia. Karyanya ini merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.
Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari 8 bab yaitu:
a.       Keutamaan ilmu dan para pencari ilmu serta keutamaan belajar dan mengajar
b.      Etika yang harus diperhatikan dalam belajar-mengajar
c.       Etika seorang murid terhadap guru
d.      Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru
e.       Etika yang harus dipedomani seorang guru
f.       Etika guru ketika dan akan mengajar
g.      Etika guru terhadap murid-muridnya
h.      Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari 8 bab tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: signifikasi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid, serta tugas dan tanggung jawab seorang guru.

1.      Signifikasi pendidikan
Dalam membahas masalah ini, ia banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang yang ahli ilmu berdasarkan firman Allah SWT Surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau diulas dan dijelaskan dengan singkat dan jelas. Ia menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Hal demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya maka syari’at mewajibkan untuk menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar.[5]
Bertauhid itu mengharuskan adanya keimanan. Maka barangsiapa beriman maka ia harus bertauhid. Dan keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang yang tidak menjalankan syariat maka ia berarti tidak beriman dan bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus beradab. Dengan demikian, orang yang beradab berarti ia juga bertauhid, beriman dan bersyariat.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain keimanan dan tauhid, yaitu pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, semata-mata tidak mengharapkan materi. Di samping itu, yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang dilakukan.
Dalam hal ini yang menjadi titik penekanannya adalah pada pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena belajar harus berniat untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.[6]

2.      Tugas dan tanggung jawab Murid
a.       Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini, terdapat sepuluh etika yang ditawarkannya adalah membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; membersihkan niat; tidak menunda kesempatan belajar; bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minum; bersikap hati-hati (wara’); menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan; menyedikitkan waktu tidur selama tidak merusak kesehatan; dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini, terlihat bahwa ia lebih menekankan pada pendidikan rohani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu, mengatur makan dan minum dan sebagainya.
b.      Etika seorang murid terhadap guru
Dalam membahas masalah ini, beliau mengemukakan 12 etika, yaitu:
-       Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru
-       Memilih guru yang wara’ (berhati-hati) selain profesional
-       Mengikuti jejak-jejak guru
-       Memuliakan guru
-       Memperhatikan apa yang menjadi hak guru
-       Bersabar terhadap kekuasaan guru
-       Mengunjungi guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa tidak harus pada tempatnya
-       Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru
-       Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut
-       Dengarkan segala fatwanya
-       Jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan
-       Menggunakan anggota yang kanan bila menyerahan sesuatu kepadanya.
Etika seperti ini masih banyak dijumpai pada pendidikan di pesantren, akan tetapi seperti yang telah dijelaskan sangat langka terjadi di tengah budaya kosmopolitan. Kelangkaan tersebut bukan berarti bahwa konsep yang ditawarkannya sudah tidak relevan, akan tetapi masalah yang melingkupinya semakin kompleks seiring dengan munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri. Meski demikian, bila dibandingkan dengan konsep pendidikan Islam lainnya, maka pemikiran yang ditawarkan beliau terlihat lebih maju. Hal ini terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru dan sebagainya.
c.       Etika murid terhadap pelajaran
Murid dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut:[7]
-          Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipeljari
-          Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu ‘ain
-          Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
-          Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya
-          Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
-          Pancangkan cita-cita yang tinggi
-          Bergaulah dengan orang yang berilmu lebih tinggi (pintar)
-          Ucapkan salam bila sampai di tempat majlis ta’lim (sekolah/madrasah)
-          Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah ditanyakan
-          Bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman maka sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak mendapatkan izin
-          Ke mana pun kita pergi dan di manapun kita berada jangan lupa membawa catatan
-          Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu (istiqomah)
-          Tanamkan rasa antusias/semangat dalam belajar.
Penjelasan tersebut seakan membuka mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi searah, memasung kemerdekaan berpikir dan sebagainya. Boleh jadi karena ketatnya etika yang diterapkan, sehingga dalam beberapa kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai satu contoh, adalah kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid harus selalu mendengarkan fatwa guru dan sebagainya, maka kemudian etika tersebut disalah-pahami pengertiannya dengan tertutupnya pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya ketakutan bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang dijelaskan guru, maka ilmunya tidak membawa berkah dan tidak manfaat, maka semakin menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatakan guru. Dari sinilah kemudian muncul suatu pemahaman di kalangan pendidikan tradsional untuk selalu menerima apa yang diberikan (qanaah). Akan tetapi, bila dilihat pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah tersebut segera berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progressif.
3.      Tugas dan tanggung jawab guru
a.       Etika seorang guru
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu, beliau juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain:[8]
-          Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
-          Senantiasa takut kepada Allah
-          Senantiasa bersikap tenang
-          Senantiasa berhati-hati (wara’)
-          Senantiasa tawadhu’
-          Senantiasa khusyu’
-          Mengadukan segala persoalannya kepada Allah swt
-          Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata
-          Tidak selalu memanjakan anak didik
-          Berlaku zuhud  dalam kehidupan dunia
-          Berusaha menghindari hal-hal yang rendah
-          Menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat
-          Mengamalkan sunnah Nabi
-          Mengistiqamahkan membaca al-Qur’an
-          Bersikap ramah, ceria dan suka memberi salam
-          Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
-          Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan
-          Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya
-          Membiasakan diri menulis, membaca dan meringkas.
Menanggapi gagasan yang dikemukakannya, yang pertama terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam perilaku kehidupannya, beliau lebih cenderung pada kehidupan seorang sufi. Demikian juga dengan ilmu yang dipelajari ketika menimba ilmu, khususnyadi Makkah, lebih mendalami bidang tasawuf dan hadits, maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian, tidaklah hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban terhadap permasalahan yang melingkupinya.[9]
b.      Etika guru ketika mengajar
Seorang guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika. Dalam hal ini, beliau menawarkan gagasan tentang etika guru ketika mengajar sebagai berikut:
-          Mensucikan diri dari hadats dan kotoran
-          Berpakaian sopan dan rapi, usahakan berbau wangi
-          Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik
-          Sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah
-          Membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
-          Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas
-          Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita
-          Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
-          Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa
-          Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya
-          Pada waktu menganjar hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis
-          Usahakan berpenampilan ramah, lemah-lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong
-          Dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi yang penting dan sesuaikan dengan profesional yang dimiliki
-          Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan
-          Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam belajar dan tidak terlalu lama
-          Menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar
-          Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel
-          Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan yang ditemukan
-          Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasan agar mengetahui apa yang dimaksud, bila sudah selesai menjelaskan berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.[10]
Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis. Artinya, apa yang ditawarkan berawal dari praktek yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai lebih dalam konsep yang dikemukakan oleh beliau. Kehidupannya yang diabdikan untuk ilmu dan agama telah memperkaya pengalamannya dalam mengajar. Beliau misalnya, memperhatikan hal-hal detail, yang kelihatannya sangat sepele, seperti cara menegur dan mengajarkan kepada anak didik yang datang terlambat. Jelas, hal ini kemungkinan besar akan luput dari pemikiran para penggagas atau pengamat pendidikan, andaikan beliau tidak terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Belum lagi pada penampilan, baik penampilan fisik maupun materi yang akan disajikan.
c.       Etika guru bersama murid
     Guru dan murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, antara keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Di antara etika tersebut adalah:[11]
-          Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam
-          Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian
-          Hendaknya selalu melakukan intropeksi diri
-          Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid
-          Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya
-          Memberikan latihan yang bersifat membantu
-          Selalu memperhatikan kemampuan peserta didik
-          Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya
-          Mengarahkan minat peserta didik
-          Bersikap terbuka da lapang dada terhadap peserta didik
-          Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
-          Bila terdapat peserta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya
-          Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik dan tawadhu’.
Bila sebelumnya terlihat tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik, maka terlihat profesionalitasnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang guru terutama kemampuan profesional. Kejeniusan pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan, khususnya psikologi pendidikan.
4.      Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya
     Satu hal yang paling menarik dan terlihat berbeda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Jika ada etika untuk hal tersebut, biasanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis. Seringkali itu dianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi, beliau memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika yang ditawarkannya dalam masalh ini antara lain:
-          Menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang diajarkan
-          Merelakan, mengizinkan bila ada teman meminjam buku pelajaran
-          Sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman tersebut
-          Letakkan buku pelajaran pada tempat yang layak
-          Memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjamnya kalau ada kekurangan lembaran buku tersebut
-          Bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan basmalah
-          Sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah.[12]
Terlihat kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk-beluk proses belajar mengajar. Hal ini tidak akan diperhatikan bila pengalaman mengenai hal ini tidak pernah dilaluinya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, karena beliau sendiri mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta mempunyai kegemaran membaca.
Pendidikan hendaknya mampu mengantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah :
1.      Menjadi insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.      Menjadi insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kurikulum atau materi yang diterapkan beliau meliputi kajian tafsir al-Qur’an, hadits, ushuluddin, nahwu, sharaf, dan materi yang membahas tentang tasawwuf. KH. Hasyim Asy’ari dalam menggunakan metode pengajarannya lebih menitikberatkan pada metode hafalan, sebagaimana pada umumnya menjadi karakteristik dari tradisi Syafi’iyah dan juga menjadi salah satu ciri umum dalam tradisi pendidikan Islam.
Dalam menentukan pilihan metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan, materi maupun situasi lingkungan dimana setiap unsur mempunyai karakteristik yang berbeda. Metode konvensional yang lazim digunakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam proses pembelajaran di pesantren adalah sistem badogan dan sorogan. Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga mengembangkan sistem musyawarah, yang pesertanya hanya santri senior dan telah mengikuti seleksi yang cukup ketat. Hal ini dimaksudkan untuk mengkader calon-calon ulama masa depan agar dapat mengembangkannya di daerah masing-masing.
Dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, beliau mengemukakan bahwasanya pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai kemanusiaannya sehingga manusia dapat menyadari siapa sesungguhnya penciptanya dan untuk apa diciptakan. Dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di daerah Jawa, beliau memiliki peran yang sangat besar di dalam dunia pesantren. Beliau diberi gelar sebagai Hadrat Asy-Syekh (guru besar di lingkungan pesantren) karena peranannya yang sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren.
Jiwa patriotik dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh beliau sudah sepatutnya menjadi contoh dan pegangan bagi kita untuk lebih keras lagi berjuang dengan tantangan yang khas di zaman modern ini. Beliau juga mampu mengubah citra bangsa Indonesia maju dalam bidang pendidikan khususnya karena komitmen, keberanian, dan konsistensi beliau merupakan nilai universal yang saat ini harus kita jadikan inspirasi untuk berjihad memberantas musuh-musuh negara sekaligus musuh agama, seperti korupsi, monopoli ekonomi, dan pembodohan publik.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab ’Alim Wa Muta’allim berdasarkan kutipan Sarwo Imam Taufiq dari Kitab induknya yaitu meliputi :
a.       Tujuan pendidikan yaitu untuk mewujudkan masyarakat beretika, titik tekan pada moralitas itu tampak mendominasi di berbagai tempat dalam karyanya.
b.      Konsep dasar belajar yaitu mengembangkan seluruh potensi jasmani dan rohani untuk pelajar, menghayati, menguasai dan mengamalkan secara benar ilmu-ilmu yang dtuntut untuk keperluan dunia dan agama.
c.       Konsep dasar mengajar yaitu ada beberapa hal etika yang harus dilakukan guru dianataranya : mendekatkan diri kepada Allah, bersikap tenang, wara/ tawadhu, khusu; mengadukan segala persoalan kepada allah, bersikap zuhud, dan rajin memperdalam kajian keilmuan.

B.     Saran
1.      Bagi Pendidik
Dengan mengetahui konsep pendidikan yang ditulis oleh KH. Hasyim Asi’ari, guru dapat menyampaikan materi dengan baik dan benar serta dengan atika yang sesuai bagi seorang guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2.      Bagi Siswa
Konsep Pendidikan yang ditawarkan KH. Hasyim Asyari yang terdapat dalam buku Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi telah memberikan petunjuk bagi seorang guru dan murid. Dengan adanya buku tersebut dapat dijadikan pedoman siswa bagaimana etika seorang murid dalam menuntut ilmu Allah sehingga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.



DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, M. Hasyim. 2003. Menjadi Orang Pintar dan Benar (Adab al-Alim wa al-Muta’alim).Yogyakarta: CV. Qalam.
Khuluq, Lathiful. 2008.Fajar Kebangunan Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari.Jogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Rizal,Samsul.2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Ciputat Pers.
Suwendi. 2005.Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari.Jakarta: LeKDis.


[1]Samsul Rizal,Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Ciputat Pers, 2002), hlm 155.
[2]Ibid.,Samsul Rizal, hlm 156.
[3]Ibid.,Samsul Rizal, hlm 157.
[4]LathifulKhuluq,Fajar Kebangunan Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari. (Jogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2008), hlm 78.
[5]Ibid.,LathifulKhuluq, hlm 79.
[6]Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari(Jakarta: LeKDis, 2005), hlm 46.
[7]Ibid.,Suwendi, hlm 47.
[8]Ibid.,Suwendi, hlm 48.
[9]Ibid.,Suwendi, hlm 49.
[10]M. HasyimAsy’ari,Menjadi Orang Pintar dan Benar (Adab al-Alim wa al-Muta’alim, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), hlm 137.
[11]Ibid., M. HasyimAsy’ari, hlm 138.
[12]Ibid., M. HasyimAsy’ari, hlm 139.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar