KH. HASYIM ASY’ARI DAN PEMIKIRANNYA
MAKALAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Islam
Yang
Dibimbing Oleh: Drs. Ainur Rafik, M.Ag.
Oleh:
Kelompok 7
Ratih Alimatul Muslimah (084141008)
Masfufatun (084141016)
Clearita
Presty Elmara (084141023)
Nanda Qorita Ayuni (084141030)
Nur
Faizah (084141039)
Umi
Kulsum (084142059)
Lailatul
Qomariyah (084142062)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
MEI,
2016
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat,
karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik mencakup
materi pokok secara ringkas sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami.
Semoga makalah
ini bisa memberi manfaat yang optimal dalam proses pembelajaran, sehingga dapat
dipelajari dengan baik dan mampu memaksimalkan potensi dalam diri para pembaca
karena hanya melalui proses belajarlah akan terbentuk generasi penerus bangsa
yang berwawasan luas dan mampu menjawab segala tantangan zaman.
Makalah kami ini berisi tentang biografi KH. Hasyim Asy’ari dan
pemikirannya yang akan
dibahas pada tiap-tiap halamannya. Materi-materi yang dipaparkan dimakalah ini
merupakan hasil referensi kami dari buku-buku. Sehingga,
dengan makalah ini pembaca diharapkan dapat lebih memahami Materi yang akan dipaparkan.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Drs. Ainur Rafik, M.Ag. selaku dosen mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam serta
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga amal kebaikan diterima Allah SWT dan mendapatkan imbalan dari Nya.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk perbaikan
dimasa mendatang.
Jember,
22 Mei 2016
Tim
Penyusun
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan............................................................................ ....... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari .............................................................. 2
B. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari ........................................................ 3
C. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari .................................................... ....... 5
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 15
B. Saran.................................................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah
seorang pendiri lembaga peasantren di semping sebagai tokoh yang memiliki
pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh, dan
kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau
sebagai tokoh awal yang membuat mata rantai tradisionalisme di Indonesia,
gara-gara dia meletakkan kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, sebuah
organisasi sosial keagamaan yang saat ini terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari telah
menyediakan sebuah risalah kependidikan secara khusus, yakni kitab Adab
al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaju ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi
wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi. Oleh karena itu,
pada penulisan makalah ini akan terfokus pada konsep pendidikan KH. Hasyim
Asy’ari pada buku tersebut.
B. RumusanMasalah
1. BagaimanaBiografiTentang KH. HasyimAsy’ari?
2. ApasajaKarya-Karya KH. HasyimAsy’ari?
3. BagaimanaPemikiran KH. HasyimAsy’ari?
C. TujuanMasalah
1. UntukMengetahuiBiografiTentang KH.
HasyimAsy’ari.
2. UntukMengetahuiKarya-Karya KH.
HasyimAsya’ari.
3. UntukMengetahuiPemikiran KH. HasyimAsy’ari.
1
|
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI KH.
HASYIM ASY’ARI
KH.
Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang, salah satu desa yang berjarak sekitar
satu kilometer sebelah utara kota Jombang-Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon,
tanggal 24 Dzul’qaidah 1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. Ayahnya
bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah,
puteri Kiai Utsman, pendiri pesantren Gedang.Nama lengkapnya adalah Muhammad
Hasyim Asy’ari ibn Abd Al-Wahid ibn Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran
Bona ibn Abd-Al-Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan
Hadiwijaya ibn Abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-Fatah ibn Abd Maulana Ishaq
dari Raden Ainul Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[1]
Guru pertamanya
adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya dengan membaca al-Qur’an dan
literatur-literatur islam lainnya. Sejak kecil, ia sudah dikenal dengan
kegemarannya membaca. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di berbagai
pesantren. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Langitan, Tuban. Dari
Langitan, santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke Bangkalan, di sebuah
pesantren yang diasuh oleh Kyai Kholil. Terakhir, sebelum belajar ke Mekkah, ia
sempat nyantri di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren yang
terakhir inilah ia diambil menantu oleh Kyai Ya’qub, pengasuh pesantren
tersebut.
Pada tahun
1892, kyai Hasyim menikah dengan Khadijah, putri Kyai Ya’qub. Tidak berapa lama
kemudian, ia beserta istri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang
dilanjutkan dengan belajar disana. Akan tetapi, setelah isterinya meninggal
setelah melahirkan, disusul kemudian puteranya, menyebabkan kembali lagi ke
Indonesia. Tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi ke Tanah Suci, tidak
hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar. Ia menetap di
sana kurang lebih tujuh tahun, dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya
Syaikh Ahmad Amin al-Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan
Al-Aththar, Syaikh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqar, Sayyid Abbas
Maliki,Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal, dan Syaikh Sultan
Hasyim Dagastani.
Pada tahun
1899/1900, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya, baru
kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebu
Ireng, pada tanggal 6 Februari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut
tidak berapa lama kemudian berkembang menjadi pesantren yang terkenal di
Nusantara, dan menjadi tempat mencetak kader-kader ulama untuk wilayah Jawa dan
sekitarnya. Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing/mengajar
santri baru. Ketika di Mekah, ia sempat juga mengajar. Demikian pula ketika
kembali ke Tanah Air, diabdikan seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu.
Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin
waktu (istiqamah). Waktu mengajar adalah satu jam sebelum shalat, dan satu jam
seusai shalat lima waktu.[2]
B.
KARYA KH. HASYIM ASY’ARI
Tidak banyak ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku.
Akan tetapi, tidak demikian dengan K.H Hasyim Asy’ari. Tidak kurang dari
sepuluh kitab disusunnya, antara lain:
1.
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi
Ahwal Ta’limihi wa ma Yatawaqqaf ‘alaih al-Mu’allim fi Maqat Ta’limihi.Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para
pelajar dan pendidik.
2.
Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin
al-Fasuruani.Catatan seputar
nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan
Syeikh Abdullah bin Yasir.
3.
At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat.Peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan Maulid yang dicampuri
dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
4.
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat
as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlul Sunnah Wal Jama’ah tentang hadits-hadits yang
menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan
bid’ah.
5.
Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin(Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
6.
Hasyiyah’ala Fath al-Rahman bi Syarth Risalat al-Wali Ruslan li
Syaikh al-Islam, Zakariya al-Anshari
yaitu kitab syarah dari karangan al-Mursalin, yaitu kitab tentang mencintai
Rasulullah saw serta mengikuti sunnah beliau.
7.
Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an
kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH.M. Yusuf
Hasyim
8.
Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa
al-Ikhwan. Berisi tentang
tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360
H).
9.
Al-Risalat al-Tauhidiyah,
wahiya Risalah Shagirat fi Bayan ‘Aqidah ahl Sunnah wa al-Jamaah. Yaitu kitab
tentang tauhid.
10.
Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid, yaitu kitab tentang kewajiban yang harus dikerjakan dalam akidah
terbit pada tahun 1356 H/1937 M.
11.
Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdlatul
Ulama’(1971M).
12.
Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah unuk memperkuat pegangan atas empat madzhab.
13.
Mawaidz (beberapa
nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935)
14.
Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’. Berisi 40 hadits nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan
Nahdlatul Ulama’.
15.
Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
Berisi tata cara nikah secara syar’i, hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak
dalam perkawinan.
16.
Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tasawuf, penjelasan tentang ma’rifat, syari’at,
thariqah, dan haqiqat.[3]
Selain bergerak
dalam dunia pendidikan, Kyai Hasyim menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan
NU (Nahdlatul Ulama) sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga
bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia menolak menerima
penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia
menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara
pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto.
Jabatan yang pernah diterimanya adalah menjadi ketua Masyumi, ketika NU
bergabung di dalamnya. Ia wafat di Tebu Ireng, Jombang dalam usia 79 tahun, tepatnya
tanggal 25 Juli 1947 / 7 Ramadhan 1366 H.
C.
PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI
TENTANG PENDIDIKAN
Salah satu karya monumental KH.
Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim
wa al-Muta’allim fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa ma
Yatawaqqaf ‘alaih al-Mu’allim fi Maqat Ta’limihi, yang dicetak pertama kali
pada tahun 1415 H. Sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski
demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam
bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut. Sebagai bukti adalah
dikemukakannya beberapa hadits sebagai dasar dari penjelasannya, di samping
beberapa ayat Al-Qur’an dan pendapat para ulama.[4]
Untuk memahami
pokok pikiran dalam kitab tersebut perlu pula
diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini
boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang
sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem
pendidikan Barat (Imperials Belanda) diterapkan di Indonesia. Karyanya ini
merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah
dijalaninya.
Ia memulai
tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan
selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari 8 bab yaitu:
a.
Keutamaan ilmu dan para pencari ilmu serta keutamaan belajar dan
mengajar
b.
Etika yang harus diperhatikan dalam belajar-mengajar
c.
Etika seorang murid terhadap guru
d.
Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani
bersama guru
e.
Etika yang harus dipedomani seorang guru
f.
Etika guru ketika dan akan mengajar
g.
Etika guru terhadap murid-muridnya
h.
Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal
yang berkaitan dengannya. Dari 8 bab tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok, yaitu: signifikasi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang
murid, serta tugas dan tanggung jawab seorang guru.
1.
Signifikasi pendidikan
Dalam membahas masalah ini, ia banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an
yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang yang ahli ilmu berdasarkan
firman Allah SWT Surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau diulas dan
dijelaskan dengan singkat dan jelas. Ia menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan
adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Hal demikian dimaksudkan agar ilmu yang
dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Mengingat begitu pentingnya maka syari’at mewajibkan untuk menuntutnya dengan
memberikan pahala yang besar.[5]
Bertauhid itu mengharuskan adanya keimanan. Maka barangsiapa beriman
maka ia harus bertauhid. Dan keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang
yang tidak menjalankan syariat maka ia berarti tidak beriman dan bertauhid.
Sementara orang yang bersyariat harus beradab. Dengan demikian, orang yang
beradab berarti ia juga bertauhid, beriman dan bersyariat.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus
memperhatikan dua hal pokok selain keimanan dan tauhid, yaitu
pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan
niatnya terlebih dahulu, semata-mata tidak mengharapkan materi. Di samping itu,
yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang dilakukan.
Dalam hal ini yang menjadi titik penekanannya adalah pada
pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang
mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena
belajar harus berniat untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.[6]
2.
Tugas dan tanggung jawab Murid
a.
Etika yang harus diperhatikan
dalam belajar
Dalam hal ini, terdapat sepuluh etika yang ditawarkannya adalah
membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; membersihkan
niat; tidak menunda kesempatan belajar; bersabar dan qanaah terhadap segala
macam pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minum;
bersikap hati-hati (wara’); menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan
kemalasan dan kebodohan; menyedikitkan waktu tidur selama tidak merusak
kesehatan; dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini, terlihat bahwa ia lebih menekankan pada pendidikan
rohani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu, mengatur makan dan minum dan
sebagainya.
b.
Etika seorang murid terhadap guru
Dalam membahas masalah ini, beliau mengemukakan 12 etika, yaitu:
- Hendaknya
selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh
guru
- Memilih guru
yang wara’ (berhati-hati) selain profesional
- Mengikuti
jejak-jejak guru
- Memuliakan guru
- Memperhatikan
apa yang menjadi hak guru
- Bersabar
terhadap kekuasaan guru
- Mengunjungi
guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa
tidak harus pada tempatnya
- Duduklah dengan
rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru
- Berbicaralah
dengan sopan dan lemah lembut
- Dengarkan
segala fatwanya
- Jangan
sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan
- Menggunakan
anggota yang kanan bila menyerahan sesuatu kepadanya.
Etika seperti
ini masih banyak dijumpai pada pendidikan di pesantren, akan tetapi seperti
yang telah dijelaskan sangat langka terjadi di tengah budaya kosmopolitan.
Kelangkaan tersebut bukan berarti bahwa konsep yang ditawarkannya sudah tidak
relevan, akan tetapi masalah yang melingkupinya semakin kompleks seiring dengan
munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri. Meski demikian, bila
dibandingkan dengan konsep pendidikan Islam lainnya, maka pemikiran yang
ditawarkan beliau terlihat lebih maju. Hal ini terlihat dalam memilih guru
hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru dan sebagainya.
c.
Etika murid terhadap
pelajaran
-
Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipeljari
-
Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu ‘ain
-
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
-
Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang
dipercayainya
-
Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
-
Pancangkan cita-cita yang tinggi
-
Bergaulah dengan orang yang berilmu lebih tinggi (pintar)
-
Ucapkan salam bila sampai di tempat majlis ta’lim
(sekolah/madrasah)
-
Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah ditanyakan
-
Bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman maka sebaiknya jangan
mendahului antrian kalau tidak mendapatkan izin
-
Ke mana pun kita pergi dan di manapun kita berada jangan lupa
membawa catatan
-
Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu (istiqomah)
-
Tanamkan rasa antusias/semangat dalam belajar.
Penjelasan
tersebut seakan membuka mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang
selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi searah, memasung
kemerdekaan berpikir dan sebagainya. Boleh jadi karena ketatnya etika yang
diterapkan, sehingga dalam beberapa kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai
satu contoh, adalah kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam
proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran tersebut
akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya dijelaskan bahwa
murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid harus selalu mendengarkan fatwa
guru dan sebagainya, maka kemudian etika tersebut disalah-pahami pengertiannya
dengan tertutupnya pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan
pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya ketakutan bahwa apabila
tidak memperhatikan apa yang dijelaskan guru, maka ilmunya tidak membawa berkah
dan tidak manfaat, maka semakin menambah murid untuk selalu menurut apa yang
dikatakan guru. Dari sinilah kemudian muncul suatu pemahaman di kalangan
pendidikan tradsional untuk selalu menerima apa
yang diberikan (qanaah). Akan tetapi, bila
dilihat pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah tersebut segera
berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progressif.
3.
Tugas dan tanggung jawab guru
a.
Etika seorang guru
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya
etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai
etika. Oleh karena itu, beliau juga menawarkan beberapa etika yang harus
dimiliki oleh seorang guru, antara lain:[8]
-
Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
-
Senantiasa takut kepada Allah
-
Senantiasa bersikap tenang
-
Senantiasa berhati-hati (wara’)
-
Senantiasa tawadhu’
-
Senantiasa khusyu’
-
Mengadukan segala persoalannya kepada Allah swt
-
Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata
-
Tidak selalu memanjakan anak didik
-
Berlaku zuhud dalam
kehidupan dunia
-
Berusaha menghindari hal-hal yang rendah
-
Menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat
-
Mengamalkan sunnah Nabi
-
Mengistiqamahkan membaca al-Qur’an
-
Bersikap ramah, ceria dan suka memberi salam
-
Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
-
Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan
-
Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya
-
Membiasakan diri menulis, membaca dan meringkas.
Menanggapi
gagasan yang dikemukakannya, yang pertama terlihat adalah nuansa tasawufnya.
Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam perilaku kehidupannya, beliau lebih
cenderung pada kehidupan seorang sufi. Demikian juga dengan ilmu yang
dipelajari ketika menimba ilmu, khususnyadi Makkah, lebih mendalami bidang
tasawuf dan hadits, maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan
pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian, tidaklah
hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya
justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban terhadap
permasalahan yang melingkupinya.[9]
b.
Etika guru ketika mengajar
Seorang guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu
memperhatikan beberapa etika. Dalam hal ini, beliau menawarkan gagasan tentang
etika guru ketika mengajar sebagai berikut:
-
Mensucikan diri dari hadats dan kotoran
-
Berpakaian sopan dan rapi, usahakan berbau wangi
-
Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak
didik
-
Sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah
-
Membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
-
Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas
-
Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para
ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita
-
Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas
dipandang mata
-
Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa
-
Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk,
dan sebagainya
-
Pada waktu menganjar hendaklah mengambil tempat duduk yang
strategis
-
Usahakan berpenampilan ramah, lemah-lembut, jelas, tegas dan lugas
serta tidak sombong
-
Dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi yang penting dan
sesuaikan dengan profesional yang dimiliki
-
Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang
bisa membinasakan
-
Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam belajar dan tidak
terlalu lama
-
Menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar
-
Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang
bandel
-
Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan yang
ditemukan
-
Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya terlambat
dan ulangilah penjelasan agar mengetahui apa yang dimaksud, bila sudah selesai
menjelaskan berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas atau belum dipahami.[10]
Terlihat bahwa
apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis. Artinya, apa yang ditawarkan
berawal dari praktek yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai
lebih dalam konsep yang dikemukakan oleh beliau. Kehidupannya yang diabdikan
untuk ilmu dan agama telah memperkaya pengalamannya dalam mengajar. Beliau
misalnya, memperhatikan hal-hal detail, yang kelihatannya sangat sepele,
seperti cara menegur dan mengajarkan kepada anak didik yang datang terlambat.
Jelas, hal ini kemungkinan besar akan luput dari pemikiran para penggagas atau
pengamat pendidikan, andaikan beliau tidak terlibat langsung dalam dunia
pendidikan. Belum lagi pada penampilan, baik penampilan fisik maupun materi
yang akan disajikan.
c.
Etika guru bersama murid
Guru dan murid tidak hanya masing-masing
mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, antara
keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan
murid. Di antara etika tersebut adalah:[11]
-
Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta
menghidupkan syariat Islam
-
Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian
-
Hendaknya selalu melakukan intropeksi diri
-
Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid
-
Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya
-
Memberikan latihan yang bersifat membantu
-
Selalu memperhatikan kemampuan peserta didik
-
Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan
yang lainnya
-
Mengarahkan minat peserta didik
-
Bersikap terbuka da lapang dada terhadap peserta didik
-
Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
-
Bila terdapat peserta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal
ihwal kepada teman-temannya
-
Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik dan
tawadhu’.
Bila sebelumnya
terlihat tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab
seorang pendidik, maka terlihat profesionalitasnya dalam pendidikan. Hal ini
dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi
seorang guru terutama kemampuan profesional. Kejeniusan pemikiran beliau patut
untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan, khususnya
psikologi pendidikan.
4.
Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan
dengannya
Satu hal yang paling menarik dan terlihat
berbeda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada
umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Jika ada etika
untuk hal tersebut, biasanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis.
Seringkali itu dianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup
diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi, beliau memandang bahwa
etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di
antara etika yang ditawarkannya dalam masalh ini antara lain:
-
Menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang
diajarkan
-
Merelakan, mengizinkan bila ada teman meminjam buku pelajaran
-
Sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman tersebut
-
Letakkan buku pelajaran pada tempat yang layak
-
Memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjamnya kalau ada
kekurangan lembaran buku tersebut
-
Bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan
mengawalinya dengan basmalah
-
Sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu retorika atau
semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah.[12]
Terlihat
kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk-beluk
proses belajar mengajar. Hal ini tidak akan diperhatikan bila pengalaman
mengenai hal ini tidak pernah dilaluinya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila
kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, karena beliau sendiri
mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta mempunyai kegemaran membaca.
Pendidikan
hendaknya mampu mengantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi
penerus umat dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi
oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma
Islam. tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah :
1.
Menjadi insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.
Menjadi insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Kurikulum atau
materi yang diterapkan beliau meliputi kajian tafsir al-Qur’an, hadits,
ushuluddin, nahwu, sharaf, dan materi yang membahas tentang tasawwuf. KH.
Hasyim Asy’ari dalam menggunakan metode pengajarannya lebih menitikberatkan
pada metode hafalan, sebagaimana pada umumnya menjadi karakteristik dari
tradisi Syafi’iyah dan juga menjadi salah satu ciri umum dalam tradisi
pendidikan Islam.
Dalam
menentukan pilihan metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan,
materi maupun situasi lingkungan dimana setiap unsur mempunyai karakteristik
yang berbeda. Metode konvensional yang lazim digunakan oleh KH. Hasyim
Asy’ari dalam proses pembelajaran di pesantren adalah sistem badogan dan
sorogan. Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga mengembangkan sistem musyawarah,
yang pesertanya hanya santri senior dan telah mengikuti seleksi yang cukup
ketat. Hal ini dimaksudkan untuk mengkader calon-calon ulama masa depan agar
dapat mengembangkannya di daerah masing-masing.
Dalam pemikiran
KH. Hasyim Asy’ari, beliau mengemukakan bahwasanya pendidikan Islam merupakan
sarana untuk mencapai kemanusiaannya sehingga manusia dapat menyadari siapa
sesungguhnya penciptanya dan untuk apa diciptakan. Dalam sejarah pendidikan
Islam tradisional, khususnya di daerah Jawa, beliau memiliki peran yang sangat
besar di dalam dunia pesantren. Beliau diberi gelar sebagai Hadrat Asy-Syekh
(guru besar di lingkungan pesantren) karena peranannya yang sangat besar dalam
pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren.
Jiwa patriotik
dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh beliau sudah sepatutnya menjadi contoh
dan pegangan bagi kita untuk lebih keras lagi berjuang dengan tantangan yang
khas di zaman modern ini. Beliau juga mampu mengubah citra bangsa Indonesia
maju dalam bidang pendidikan khususnya karena komitmen, keberanian, dan
konsistensi beliau merupakan nilai universal yang saat ini harus kita jadikan
inspirasi untuk berjihad memberantas musuh-musuh negara sekaligus musuh agama,
seperti korupsi, monopoli ekonomi, dan pembodohan publik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah di atas dapat
disimpulkan bahwa konsep pendidikan menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kitab
Adab ’Alim Wa Muta’allim berdasarkan kutipan Sarwo Imam Taufiq dari Kitab
induknya yaitu meliputi :
a. Tujuan pendidikan yaitu untuk mewujudkan
masyarakat beretika, titik tekan pada moralitas itu tampak mendominasi di
berbagai tempat dalam karyanya.
b. Konsep dasar belajar yaitu mengembangkan
seluruh potensi jasmani dan rohani untuk pelajar, menghayati, menguasai dan
mengamalkan secara benar ilmu-ilmu yang dtuntut untuk keperluan dunia dan
agama.
c. Konsep dasar mengajar yaitu ada beberapa hal
etika yang harus dilakukan guru dianataranya : mendekatkan diri kepada Allah,
bersikap tenang, wara/ tawadhu, khusu; mengadukan segala persoalan kepada
allah, bersikap zuhud, dan rajin memperdalam kajian keilmuan.
B. Saran
1. Bagi
Pendidik
Dengan
mengetahui konsep pendidikan yang ditulis oleh KH. Hasyim Asi’ari, guru dapat
menyampaikan materi dengan baik dan benar serta dengan atika yang sesuai bagi seorang
guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2. Bagi
Siswa
Konsep
Pendidikan yang ditawarkan KH. Hasyim Asyari yang terdapat dalam buku Adab
al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa
ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi telah memberikan
petunjuk bagi seorang guru dan murid. Dengan adanya buku tersebut dapat
dijadikan pedoman siswa bagaimana etika seorang murid dalam menuntut ilmu Allah
sehingga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, M. Hasyim. 2003. Menjadi Orang Pintar dan Benar (Adab al-Alim wa al-Muta’alim).Yogyakarta: CV. Qalam.
Khuluq, Lathiful. 2008.Fajar Kebangunan Ulama-Biografi KH.
Hasyim Asy’ari.Jogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Rizal,Samsul.2002. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta. Ciputat
Pers.
Suwendi. 2005.Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari.Jakarta: LeKDis.
[4]LathifulKhuluq,Fajar Kebangunan
Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari. (Jogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2008), hlm 78.
[10]M. HasyimAsy’ari,Menjadi Orang Pintar dan Benar (Adab al-Alim wa al-Muta’alim, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), hlm 137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar